Jumat, 14 September 2018

MANUSIA LUMPUR dan BAHTERA KERTAS


Pada suatu kesempatan bersamadhi, saya “terjerumus” ke alam baka. Saya tiba di sebuah padang belantara yang tandus, tak sehelai rumput pun yang tumbuh, sangat gersang dan menakutkan.

Meskipun saya “terjerumus” di alam baka, berkat kekuatan samadhi yang kumiliki, batinku merasakan suatu ketenangan yang abadi.

Hatiku memancarkan cahaya, menerangi alam semesta.
Tiba-tiba saya melihat sekawanan ‘manusia lumpur’ datang dengan langkah tertatih-tatih. Saya katakan manusia lumpur dikarenakan sekujur tubuh mereka penuh dengan lumpur, baik mata, telinga, hidung, maupun mulut, semuanya berlumpur.

Saya merasa sangat aneh.

Saya berpikir, mengapa begitu banyak orang yang badannya penuh dengan lumpur?

Saya sungguh tidak mengerti mengapa ada manusia lumpur?

Tiba-tiba saya mendengar seseorang di antara mereka bergumam, “OM. GURU. LIAN SHENG. SIDDHI. HUM.”

Saya menghampiri mereka dan bertanya, “Siapa yang menjapa OM. GURU. LIAN SHENG. SIDDHI. HUM.”

“Saya,” jawab salah seorang dari mereka.

“Apakah Anda umat Guru Lu?”

“Betul.”

“Berapa orang?”

“Kami sekeluarga, berjumlah enam orang.”

*

 Usai samadhi, saya coba mencari tahu lewat sentuhan jari.
Saya segera paham.

Dengan tenang, saya melipat bahtera kertas. Cara lipat bahtera kertas ini pernah diajari oleh guruku ketika masih SD.

Saya melipat bahtera kertas sebanyak enam buah.

Lalu, saya mengembuskan hawa masing-masing satu kali di atas enam bahtera kertas itu. Tangan kiriku membentuk Mudra Tisaila, tangan kananku membentuk Mudra Khadga. Ujung khadga memancarkan cahaya sehingga enam bahtera kertas itu pun memancarkan cahaya.

Seorang umat sempat melihat saya sedang melipat bahtera kertas, lalu bertanya, “Mahaguru bermain lipat kertas, pasti suasana hati sedang ceria.”

Saya menoleh sambil menjawab, “Bahtera mampu menyeberangkan manusia.”

“Kertas begitu ringan, mana mungkin menyeberangkan manusia?”

“Karena ringanlah yang membuatnya mengapung.”

Saya tidak banyak berbicara, segera mengambil enam bahtera kertas itu ke halaman belakang untuk diperabukan.

*

Suatu peristiwa naas telah terjadi.

Di suatu tempat, sudah sekian hari hujan turun tak henti-hentinya. Sebuah kota kecil yang cukup ramai dan mewah terletak tepat di bawah kaki gunung.

Setelah delapan belas hari hujan mengguyur daerah tersebut, malam hari itu, terdengar suara menggelegar bak langit runtuh, tanggul penangkal longsor pun roboh, batu dan tanah bagaikan amukan ombak terus membanjiri hingga menutupi atap perumahan lokasi kaki gunung. Warga setempat beserta seluruh tempat pemukiman terbenam di bawah tanah lumpur. Sungguh aneh, sebuah keluarga yang beranggotakan enam orang, berhasil luput dari bencana longsor maut.

Konon, pada malam hari itu saat nyawa mereka terancam petaka longsor, mereka segera menjapa, “OM. GURU. LIAN SHENG. SIDDHI. HUM.”

Tak disangka, mereka berenam seolah-olah terapung di atas lumpur dan melintasi permukaan lumpur bagaikan naik perahu. Lalu mereka terhempas jauh di sebuah padang rumput yang berjarak beberapa kilometer dari lokasi longsor.

Seluruh warga kota kecil itu telah menjadi korban. Hanya keluarga inilah yang luput dari marabahaya. Nyawa mereka tertolong secara mukjizat.

*

Saya melihat sekawanan manusia lumpur di alam baka, yakni satu keluarga berupa enam umat Zhenfo Zong dalam manifestasi alam neraka. Yang jelas nyawa mereka sudah terancam, namun setelah saya berikan ritual Sadhana Bahtera Dharma, akhirnya mereka berhasil terselamatkan.

Sebuah pertanyaanku untuk sidang pembaca:
Mereka sudah menjadi manusia lumpur, kematian sudah ditetapkan, bukankah terdapat kesenjangan dimensi waktu? Bagaimana hal ini bisa terjadi? Saya tidak menjawabnya, biarlah sidang pembaca yang menjawab sendiri.

Pertanyaanku ini tentu akan terjawab oleh para umat suci, rahasianya sudah tersirat di dalam.



*dikutip dari:
http://tbsn.org/indonesia/news.php?cid=23&csid=194&id=8472
NOTE: Hari kemarin sore, Kamis tanggal 13-Sept-2018  buku yang dibeli di DharmaduttaStore via Tokopedia telah sampai keruman, buku ke-226, berjudul: Mengetuk Pintu Hatimu

Kamis, 26 Juli 2018

Menjapa Nama Buddha dan Menjapa Mantra


Pada masa awal saya belajar Buddhadharma, ada sebuah kisah yang sangat membuat saya terharu, begini kisahnya:

Seorang nenek berusia lanjut berikrar bahwa ia baru bersedia terlahir di Buddhaloka setelah usai menjapa genap lima ratus miliar kali nama Buddha Amitabha.

Si Nenek setiap hari menjapa nama Buddha dengan menghitung butiran kacang.

Suatu hari Si Nenek jatuh sakit, sedangkan kacang yang sudah dihitung masih kurang dari target, masih jauh dari lima ratus miliar!

Bagaimana baiknya? Si Nenek sangat resah, tak berdaya.
Pada saat itu, ikrar Si Nenek membuat dua sosok Bodhisattva Agung merasa terharu. Kedua Bodhisattva Agung ini menjelma jadi dua orang Bhiksu bertandang ke rumah Si Nenek.

Setelah jelas maksud kedatangannya, kedua Bhiksu memberitahu Si Nenek, “Nek, japalah
Namo san shi liu wan yi, yi shi yi wan, jiu qian wu bai, tong ming tong hao Amituofo!” (Terpujilah 36.000.000.119.500 nama agung yang sama dari Buddha Amitabha)
Begitu Si Nenek menjapa, tercapailah targetnya, malah kelebihan hitungan, aha!

Saat Si Nenek menjapa, “
Namo san shi liu wan yi, yi shi yi wan, jiu qian, wu bai tong ming tong hao Amituofo!” Seluruh kacang tertumpah di lantai, dan Si Nenek pun terlahir di alam suci.
Dua orang Bhiksu itu menjelma kembali dalam sosok Bodhisattva, lalu menghilang.

Kisah ini segera tertanam di dalam benak saya, sejak itu saya pun ikut menjapa, “
Namo san shi liu wan yi, yi shi yi wan, jiu qian, wu bai tong ming tong hao Amituofo!” Setiap sebelum menjapa nama Buddha Amitabha, saya pasti membaca kalimat yang satu ini; begitu pula setelah usai menjapa nama Buddha Amitabha dan sebelum parinimana, saya juga membaca ulang kalimat ini; bahkan setiap teringat, saya suka membacakannya pula.

Kalimat ini banyak memberi yukta, sehingga saya juga mengajarkan para siswa untuk membacanya. Kini, banyak siswa yang ikut membacakan kalimat ini.

Ketahuilah, menjapa nama Buddha, jangan malas-malasan atau asal-asalan, jangan pula hanya menjapa satu kali saja, japalah sebanyak-banyaknya.  Kalimat dijapa untuk keperluan darurat kelak, maka itu jangan sekali-kali malas!

Manfaat apakah yang dapat kita peroleh dari menjapa nama Buddha?
Aliran Sukhavati sangat umum bagi semua umat, bagi yang berbakat tinggi, yang berbakat menengah, yang berbakat rendah, yang pernah melakukan Lima Perbuatan Durhaka dan Sepuluh Kejahatan, bahkan yang fenomena neraka sudah muncul pun, japalah dengan penuh konsentrasi dan tulus, segera akan mencapai pantai seberang.

Guru Besar Ou-yi berkata, “Para Buddha mengasihani makhluk luas yang tersesat, selalu menjelma sesuai kondisi, kendati kembali pada sumber nan tiada dua, tetap banyak membuka jalan kemudahan. Dari sekian banyak kemudahan yang dapat langsung memperoleh kesempurnaan, tak ada yang lebih mudah daripada menjapa nama Buddha untuk terlahir di alam suci.”

Hendaknya terhadap tubuh bardo juga diberi bimbingan sebagai berikut:
- Sukhavati ada di hadapan Anda.
- Japalah nama Buddha dengan sepenuh hati.
- Berpikirlah diri sendiri akan terlahir di Sukhavati.

Demikianlah ‘petunjuk penting jelang wafat’.

Ketahuilah, mantra adalah bahasa rahasia dari Buddha dan Bodhisattva, disebut pula ‘dharani’. Semua mantra merupakan bahasa Tathagata yang paling luar biasa, dari segala rahasia Tathagata inilah akan meningkatkan kesadaran diri menjadi suci.

Itulah sebabnya Tsongkhapa berkata, “Menjapa nama Buddha adalah menyebut nama Buddha, menjapa mantra adalah berkomunikasi dengan hati Buddha.”

Penjapaan mantra yang hingga mencapai keyogaan akan menyingkirkan rintangan, meningkatkan kebijaksanaan, menjadi suci, memiliki kekuatan dewa, atas ketakjuban inilah maka dikatakan ‘rahasia’.

Antara menjapa nama Buddha dan menjapa mantra, menurut saya pribadi, dua-duanya bagus, tidak ada perbedaan dalam hal keunggulan.

Dulu, Guru Besar Lianchi berpendapat, “Bagi yang khusus menekuni penjapaan nama Buddha Amitabha, juga akan memperoleh semua pahala yang unggul. Menjapa nama Buddha dengan penuh konsentrasi, satu nama Buddha saja mampu mengikis dosa samsara selama 80 koti kalpa. Nama Buddha yang dijapa dengan konsentrasi, sama dengan Mantra Mahadewa, Mantra Mahavidya, Mantra Anuttara, dan Mantra Anupama. Dengan sepuluh penjapaan akan memperoleh kelahiran di alam suci tanpa kembali.

*Dikatakan sebagai Mantra Mahadewa karena berkekuatan sangat dahsyat; *dikatakan sebagai Mantra Mahavidya karena akan melenyapkan avidya dan menemukan jati diri; *dikatakan Mantra Anuttara karena akan terlahir di Sukhavatiloka dan mencapai kebuddhaan; *dikatakan Mantra Anupama karena akan memperoleh anupada yang kelak bertekad kembali ke Dunia Saha untuk misi penyelamatan.

Jadi, menurut Guru Besar Lianchi, menjapa nama Buddha sama halnya dengan menjapa mantra, sebab menjapa nama Buddha sama dengan menjapa Mantra Mahadewa, Mantra Mahavidya, Mantra Anuttara, dan Mantra Anupama.
Saya sendiri juga sependapat atas upaya yang terpuji ini!

Bagi saya yang senantiasa menekuni mantra rahasia, mantra adalah:
1. Hati Tathagata.
2. Mata Tathagata.
3. Segenap Dharma yang tak tercemar.
4. Manifestasi gaib.
5. Tiada awal dan tiada akhir.
6. Padmagarbha.
7. Kebenaran Vajra.
8. Satya-prajna.
9. Keheningan absolut.
10. Jasmani segera mencapai alam suci.
11. Tiada beda dan tidak wujud.
12. Dharma abadi.
13. Pencerahan asal.
14. Tiada noda yang dapat menghalangi.
15. Mencapai kebuddhaan.

Menurut saya, mantra itu garbha yang tiada batas. Dari 15 butir pengertian saya akan mantra, ini saja sudah sulit terbayangkan. Kekuatannya menyelimuti seluruh Alam Dharma tanpa kecuali, dan jasa gunanya tanpa batas, abadi, sukha, suci, dan sunya.

Pengertian Ajaran Tantra atas dharani adalah: pintu paramita mahamitri di sepuluh penjuru alam sebanyak debu yang bagaikan padmagarbha, semua Nirmanakaya yang tak terhingga di  Triyana (Sravakayana, Pratyekayana, dan Bodhisattvayana) dan enam alam gati, ibarat akar, ranting, dan daun, saling memantulkan cahaya, penuh dengan cakra-paripurna yang rahasia, dan tersebutlah mandala dari dharani.

Bagi saya, semua mantra rahasia yang suci dan mulia pasti memiliki silsilah, dan untuk memperolehnya mesti lewat abhiseka agar terjalin getaran suara batin dengan Yang Arya, inilah yang disebut keyogaan yang akan menghasilkan hubungan kontak batin.

Suara, memiliki kekuatan mahatinggi, menjapa mantra akan menghasilkan kekuatan yang berasal dari frekuensi getaran. Oleh karena menjapa mantra dapat menghasilkan kekautan mahatinggi, para Gurucarya pada zaman silam pun menentukan sebuah peraturan pewarisan untuk melindungi kemurnian silsilah agar tidak disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Itulah salah satu alasan mengapa mantra menjadi rahasia karena tidak sembarangan diwariskan.

Jika kita membimbing tubuh bardo menyebut nama Buddha, sebaiknya kita minta dia  menyebut nama Buddha yang sering dia japa agar ia dapat disadarkan.

Begitu pula, kalau kita membimbing tubuh bardo menjapa mantra, sebaiknya kita minta dia menjapa mantra yang sering dia japa guna menyadarkan silsilah mantranya. Begitu mantra itu dijapa, terjadi yukta, lalu manfaatkan mantra ini untuk meningkat dan berpadu dengan cahaya suci.


-=o0o=-

Namo Amituofo.
Om Amitewa Xie.



Sabtu, 21 Juli 2018

Nasehat Yang Menyelamatkan Tujuh Nyawa


Semua manusia punya kemelekatan hati.
Sutra Mahaprajna, Sutra Intan, dan Sutra Hati mengajari kita menghilangkan kemelekatan hati.

Pengertian sederhana kalimat ‘menghilangkan kemelekatan hati’ adalah ‘merelakan segalanya’.

Sutra Intan menyebutkan, “Segala Dharma Samskrta, bagaikan mimpi dan gelembung, bagaikan embun dan gelombang", demikianlah hendaknya berpandangan.

Juga disebutkan, “Tinggalkan semua fenomena maka tersebutlah Buddha.”
Sutra Hati menyebutkan; Tak ada mata, telinga, hidung, lidah, badan, dan obyek pikiran; taka da bentuk, suara, bau, rasa, dan obyek yang dapat disentuh.”

Silahkan bandingkan dengan tiga kalimat sederhana yang pernah kusebut:
Segala sesuatu akan berlalu
Setiap orang akan lenyap
Semua adalah hampa, semua akan tiada

Saya sering mengingatkan para umat, “Relakanlah segalanya! Hilangkanlah kemelekatan hati!”
Suatu hari, angkasa memancarkan cahaya aneka warna nan kemilau. Yang datang ternyata Bodhisattva Maitreya yang memanggul buntelan.

Bodhisattva Maitreya yang bermarga Maitri itu kini menetap di halaman dalam Surga Tusita. Merupakan Bodhisattva yang akan terlahir sekali lagi di Dunia Saha.

Ia akan terlahir di Dunia Saha pada saat kalpa kecil kesepuluh di mana usia manusia akan mencapai delapan puluh ribu tahun, sebagai Buddha kelima dari kalpa budi setelah Buddha Sakyamuni.

Pada tiga kali pergelaran Persamuan Dharma Agung di bawah Pohon Nagapuspa kelak, Ia akan menyelamatkan segenap makhluk hidup di alam manusia dan alam dewa.

Bodhisattva Maitreya menetap di Tanah Suci Maitreya, tepatnya di Alam Tusita, surga keempat dari enam surga di Karmadhatu.

Di alam ini terdapat halaman luar dan halaman dalam. Halaman dalam dihuni oleh Bodhisattva Maitreya, maka dinamakan  Tanah Suci Maitreya.

Ketika Bodhisattva Maitreya menampakkan diri di angkasa, dua sosok Bodhisattva menyertai di sisi. Yang sebelah kiri adalah Bodhisattva Fahualin, dan yang sebelah kanan adalah Bodhisattva Damiaoxiang.
Bodhisattva Maitreya berkata padaku, “Ada hadiah untukmu.”

Saya tertegun, “Hadiah apa?”

Bodhisattva membukakan buntelannya, cahaya keemasan memancar di udara, menampakkan ribuan hawa manggala. Saya mendongakkan kepala, tampak mahkota yang memancarkan lima warna, mutiara moni yang tak terhitung jumlahnya, selendang yang terbuat
dari untaian puspa, jubah surgawi berlapis tiga, gelang batu giok, padmasana berkelopak delapan dalam tujuh warna, dan berbagai batu pertama lainnya.
Bodhisattva berkata padaku, “Ini semua milikmu.”

Saya bingung dan tidak mengerti, “Mengapa jadi milikku?”

“Anda telah menyelamatkan tujuh nyawa manusia.”

“Saya sendiri tidak tahu,” paparku jujur.

“Beberapa hari yang lalu, seorang wanita bernama Jiang Min berkunjung ke tempatmu. Anda sempat menasihatinya, dan ia menurut. Maka itu, tujuh nyawa terselamatkan.”

Saya sendiri merasa heran!

Rupanya kejadiannya begini. Ibu mertua Jiang Min adalah seorang wanita tua yang sangat kejam dan sadis. Sejak Jiang Min menikah dan tinggal bersamanya, selalu ditindas.

Jiang Min sungguh tidak tahan lagi. Hatinya penuh dendam. Disiapkannyalah arsenic, racun yang mematikan. Ia bermaksud meracuni ibu mertua, suami, empat orang anaknya, dan dirinya sendiri saat makan malam bersama. Ini sebuah tragedi keluarga yang amat besar, tragedi manusia.
Jiang Min sempat mendengar dari orang bahwa saya mahir meramal, maka ia datang menemuiku.

Ia tidak mengatakan ingin meracuni seluruh keluarganya. Ia hanya  bertanya kapan bisa terlepas dari penindasan sang mertua.

"Belakangan ini Anda ada urusan salah karma. Bila terlanjur salah karma, akan terjerumus dan taka da alasan terselamatkan lagi. Terlebih-lebih tak dapat lepas dari karma!” paparku.

Jiang Min merasa takut mendengarkan hal ini.

"Ibu mertuamu sudah lanjut usia, semua ini akan berlalu dan lenyap. Bersabarlah, perlakukanlah dirinya dengan baik.”

Saya lanjut berkata, “Singkirkanlah bungkusan yang ada padamu itu.”

Jiang Min semakin kaget karena ia membawa bungkusan yang berisi racun arsenic.

Sesampai di rumah, Jiang Min benar-benar menuruti perkataanku membuang arsenic itu. Ia juga memperlakukan ibu mertuanya dengan baik. Kondisi keluarganya menjadi lebih baik. Dua tahun kemudian, ibu mertua Jiang Min pun meninggal dunia.
Segala sesuatu akan berlalu
Setiap orang akan lenyap
Semua adalah hampa, semua akan tiada

Tiga kalimat ini sungguh adalah kebenaran.


*dikutip dari buku ke-153 "Biarkan SinarMentari Menerangi", kisah no.4, hal 12~14

LAUT DI KALA SENJA (Jangan Dekati Perzinahan)


Semua orang suka melihat laut. Terutama laut di kala matahari terbenam, selalu merupakan pemandangan terindah di dunia.
Sebuah bola api besar yang merah menyala, menyentuh garis permukaan laut, perlahan tenggelam ke dalam air laut. Membuat langit dan laut turut memerah.
Sinar yang tersisa memerahkan seluruh cakrawala. Tapi, hanya dalam sekejap, semua akan menjadi gelap!
Saya duduk di tepi pantai di kala senja menyaksikan pemandangan ini. Dalam keadaan samar-samar, hatiku tergerak. Dari titik pertemuan matahari dan laut, saya memasuki alam baka. Di alam baka, saya bertemu dengan seorang konglomerat.
Saya sedang berjalan-jalan.
Di depanku ada seorang pak tua juga sedang berjalan-jalan. Pak tua ini sendirian. Tiba-tiba ia menoleh, wajahnya seperti pernah kukenal.
“Oh, Anda ini…,” saya berseru.
“Benar, saya.”
Saya merasa sangat heran, “Mengapa Anda bisa berada di sini?”
“Saya…”  Pak tua merasa malu.
Saya bertanya demikian tentu ada alasannya. Karena pak tua ini merupakan konglomerat papan atas di dunia, bukan orang kaya biasa. Jaringan usahanya sungguh luas. Yang patut disyukuri adalah ia seorang kaya raya yang senang beramal. Hatinya saleh, suka menolong orang lain.
Ia menjadi donatur bagi banyak lembaga sosial dan kegiatan sosial. Ia selalu menyumbangkan dana maupun tenaga, menjadi orang baik nomor satu di negerinya.
Konglomerat ini memang seorang dermawan besar. Ia juga menyumbang tanah, melakukan kegiatan sosial, memperbaiki jalan dan jembatan, membantu korban bencana alam, mencetak kitab suci, membuat pratima Buddha. Hartawan ini juga seorang umat Buddha yang taat beragama. Kalau ada biarawan datang memohon dana pembangunan kuil atau vihara, ia pasti dengan senang hati merelakan dana.
Dermawan konglomerat ini bisa mengupayakan kebaikan bagi umat luas tentu menghasilkan buah kebajikan. Orang seperti ini, pasti akan terlahir di alam dewa yang indah dan selalu berkesempatan mendengarkan Buddhadharma.
Tapi, sekarang ia berada di alam baka dan terjerumus di tiga alam samsara. Tentu hal ini membuat saya merasa heran.
Konglomerat ini berkata padaku, “Berkah dan umurku sampai hari ini sudah terkikis habis.”
“Mana mungkin?” saya tidak percaya, “Apa kesalahanmu?”
“Kesalahan yang paling mudah dibuat oleh orang kaya,” jawabnya.
“Sering berzinah?” saya coba menebak.
“Benar,” jawab konglomerat.
Konglomerat ini menjelaskan padaku:
Setelah seseorang mencapai sukses dan popular, dengan kekayaan yang berlimpah itu akan menjadi pusat perhatian banyak orang. Banyak wanita akan mengaguminya, lalu jatuh hati dan mendekatinya. Hal inilah yang menyebabkan seorang konglomerat beristri banyak. Ia memperistri sekretarisnya, juga memperistri wanita dari kalangan baik-baik, bahkan memperistri teman sekolah putrinya…
Saya sungguh tak bisa bicara apa-apa lagi.

Saya teringat sebuah cerita, begini kisahnya:
Seorang pejabat jaman Dinasti Ming bernama Zhang Ning yang sudah berusia senja masih belum punya anak dan sering sakit-sakitan.
Zhang Ning berdoa di kuil rumahnya. Batinnya bertanya, dosa apa kiranya yang telah ia perbuat sehingga tidak punya keturunan dan banyak penyakit?
Seorang istri mudanya berkata, kalau tidak menelantarkan mereka sudah merupakan suatu kebajikan.
Zhang Ning sadar seketika.

Lalu semua istri muda dan pelayan yang tidak ingin tinggal bersamanya, dibebaskan untuk menikah lagi.

Setahun kemudian, Zhang Ning memperoleh seorang putra, badannya juga semakin sehat.

‘Sering berzinah’ memang menakutkan. Hendaknya mawas diri.

Ketahuilah, para makhluk suci di alam sana selalu mengawasi tingkah laku kita dengan ketat.

Yang harusnya bisa mencapai kebahagiaan surgawi, ini malah menderita di neraka. Begitu salah langkah akan terjerumus.

Janganlah melakukan hal yang tidak senonoh; janganlah melakukan hal yang tak bermoral; janganlah merendahkan wanita penghibur dan pelayan; janganlah merasa pantas didekati hal cabul; janganlah menganggap poligami itu bak makanan sehari-hari; janganlah melupakan tatakrama antara tua dan muda.

Di alam baka bertemu dengan orang kaya raya yang terkenal ini sungguh merupakan sebuah peringatan! Jangan memanjakan diri dengan nafsu birahi yang berlebihan, hal yang ekstrim akan mendatangkan bencana.

Sangat disayangkan, hanya karena perbuatan ini terjerumus di alam neraka!


*dikutip dari buku ke-153 "Biarkan Sinar Mentari Menerangi", kisah ke-10, hal 30~32

Sabtu, 07 April 2018

Berbagai Sikap Terhadap Nyamuk Yang Menggigit


Saya ingat pernah suatu kali seorang pewawancara bertanya kepada Dalai Lama, “Apa yang Anda lakukan saat nyamuk menggigit Anda?”
Dalai menjawab, “Saya akan menggerak-gerakkan badan supaya nyamuk itu pergi.”
“Jika tetap menggigit bagaimana?”
Dalai menjawab, “Saya meniupnya supaya nyamuk itu pergi.”
Wartawan lanjut bertanya, “Jika nyamuk itu tetap tidak pergi bagaimana?”
Dalai menjawab, “Sekali tepuk, nyamuk pun mati!”
(Awalnya tidak membunuh, apa boleh buat)

Ada lagi:
Biksu Haitao dalam ceramah Dharma berkata seperti ini:
Saat nyamuk menggigit saya adalah saat yang paling tepat bagi saya untuk melatih pelepasan ‘kemelekatan diri’.
Biarkan nyamuk menggigit.
Biarkan nyamuk kenyang mengisap darah sadhaka, biarkan nyamuk bergembira, biarkan nyamuk berbahagia.
Ini adalah upaya berdana.
Sekaligus merupakan saat yang tepat bagi sadhaka untuk melatih pelepasan terhadap kemelekatan.
Yakni pelepasan terhadap:
- kemelekatan rasa gatal.
- kemelekatan rasa sakit.
- kemelekatan diri.
Batin sadhaka tidak bergejolak sama sekali!
Komentar saya:
Ini berarti memberi kebahagiaan kepada nyamuk!
Ini berarti menolong nyamuk terbebas dari derita kelaparan!
Ini berarti upaya berdana dengan penuh sukacita!
Ini berarti Mahamaitri tanpa batas dan Mahakaruna universial.
Ini berarti Upeksa tak terhingga.
Akan tetapi, bila merebak penyakit demam berdarah, virus Zika, bakteri mematikan...
Bagaimana?
Mengorbankan diri sendiri demi menyelamatkan nyamuk?
Luar biasa!

Ada lagi:
Ada orang bertanya kepada saya, “Mahaguru! Apa yang Anda lakukan saat nyamuk menggigit Anda?”
Saya menjawab, “Plak! Langsung tepuk mati!” (tanpa berpikir panjang lebar)
Orang bertanya, “Bukankah itu melanggar Sila tidak boleh membunuh?”
Saya menjawab, “Bukan demikian, sebenarnya saya sedang menyeberangkannya, supaya nyamuk ini lekas meninggalkan alam nyamuk, terlahir di alam luhur.”
“Caranya bagaimana?”
Saya menjawab, “Saya menjapa sebait kalimat berbunyi: ‘terseberangkanlah ke Alam Suci, bebas dari Samsara, Namo Amitabha Buddhaya.”
Lalu mengembuskan setarik napas dari mulut saya, melakukan ritual penyeberangan.
Orang bertanya, “Apa nama metode ini?”
Saya menjawab, “Sadhana BINASA PARAMITA” [sun: hehehe, lucu ya]
Orang bertanya, “Apakah ini termasuk cara welas asih?”
Saya menjawab, “Mahawelas asih!”
Ketahuilah, pahami bahwasanya Buddhadharma merupakan Jalan Kebenaran, Jalan Kebenaran ini mencakup metode konvensional maupun metode inkonvensional. Sadhana Binasa Paramita yang dimaksud di atas merupakan upaya Mahabodhisatta yang tak terbayangkan, hal yang mana tidak dapat dipahami oleh orang awam.
Kita tidak terpaku pada aspek eksternal, melainkan lebih mementingkan aspek internalnya, semangat adikodrati seperti ini menjadikan Buddhaksetra sebagai orientasi, menjadikan Kebenaran Hakiki sebagai realita sejati, jika bukan oleh seorang Arya Vimalakirti, maka sungguh mustahil untuk dipahami!

om guru lian shen siddhi hum
**dicopas dari; http://tbsn.org/indonesia/news.php?cid=23&csid=267&id=12

Jumat, 23 Maret 2018

SALIRA SEBAGAI BUKTI



         Berita yang akhir akhir ini menimbulkan kegemparan luar biasa di kalangan Budhis adalah sebagai berikut: "Beberapa tahanan dari penjara Chang-yi Singapura yang akan menjalankan hukuman mati telah memutuskan untuk mengangkat guru kepada Living Budha Lian-Shen dan dengan tekun melatih diri dengan Dharma Tantrayana Cen Fo Cung. Hasilnya, setelah mereka menjalankan hukuman mati dan dikremasikan, sarira (reliks) ditemukan dari sisa sisa kremasi." Berikut ini adalah catatan mengenai sarira sarira yang ditemukan dari sisa sisa kremasi ke empat tahanan (siswa saya) yang menjalankan hukuman mati:

(1) Lianhua Ah‑lin‑He, melatih diri dengan Catur Prayoga selama kira kira satu tahun. Ia dihukum mati pada tanggal 6 Septem­ber 1991. 
         Setelah dikremasikan, 12 sarira ditemukan.

(2) Lianhua Ching‑wen‑He, melatih diri dengan Catur Prayoga selama kira kira 3 tahun. Ia dihukum mati pada tanggal 15 November 1991. 
         Setelah dikremasikan, lebih dari 30 sarira ditemukan.

(3) Lianhua Bao‑sheng‑He, melatih diri dengan Yidam Cundi Yoga selama 3 tahun dan 9 bulan. Ia dihukum mati pada tanggal 28 Maret 1992. Setelah dikremasikan, tiga sarira ditemukan. Keesokan harinya, sebuah sarira lagi ditemukan yang tumbuh dari ketiga sarira pertama.

(4) Lianhua You‑ching‑He, melatih diri dengan Yidam Padmakumara Yoga selama 4 tahun dan 5 bulan. Ia dihukum mati pada tanggal 3 April 1992. Setelah dikremasikan, banyak bunga sarira dan 20 sarira mahkota ditemukan.  

Sarira biasa juga disebut "relics" dan hanya ditemukan pada sadhaka sadhaka yang telah mencapai tingkah keberhasilan pembinaan diri yang tinggi.

Sejak dahulu kala, sarira dianggap sebagai bukti dari pencerahan.

Bila sarira ditemukan setelah seorang rahib penting/senior dikremasikan, orang orang akan menempatkan sarira itu di altar dan memujanya.

Karena itu, tidak diragukan lagi bahwa aliran Cen Fo Cung dari Living Buddha Lian-Shen adalah sebuah aliran Buddhis yang di jalan yang benar dan bahwa Dharma Tantrayana Cen Fo Cung adalah Dharma Buddhis yang benar pula.

Ini didukung dengan fakta bahwa mereka yang melatih diri dengan dharma ini, tahanan hukuman mati sekalipun, akan mencapai keberhasilan pembinaan diri yang besar. Sekarang apa yang dapat dikatakan oleh orang orang yang menyampaikan tuduhan tuduhan negatif?
Semua gosip telah hancur!
Saya ingin menasihati mereka yang mengatakan Cen Fo Cung sebagai aliran sesat untuk melihat fakta dan bukti.
Saya menganjurkan mereka untuk dengan tulus memperbaiki kesalahan mereka dan mengubah jalan hidup mereka.
Mereka pun dapat melatih diri dengan Dharma Tantraya­na Cen Fo Cung. Janganlah ragu lagi.
Janganlah menanam benih di neraka!


**Dikutip dari ebook Padmakumara-02, artikel no.1.7 
Judul asli: Ditemukannya Sarira Sebagai Sebuah Bukti
(Judul asli: Dharma Budha yang benar, oleh Maha Acarya Lu Sheng-yen,
Diterjemahkan dari suratkabar "The Hwa Yu Post" No. 27, tanggal 14 Agustus 1992)

Selasa, 20 Maret 2018

MENJAPA MANTRA BUDDHA


Dalam menjalankan Agama Buddha Tantrayana ada 3 hal yang harus dijalankan untuk mencapai keBuddhaan dalam tubuh sekarang, yaitu :

1. Menjapa Mantera
2. Meditasi
3. Melaksanakan Api Homa

Dari ketiga hal, yang paling gampang dan harus dijalankan adalah yang nomor satu Menjapa Mantera.

Simak syair di bawah ini


Menjapa  MANTRA BUDDHA

Jangan ragu-ragu menjapa mantera, 
Mudah mengikis dosa dan karma,
Menyadari dunia fana bagaikan penjara,
Harta dan tahta hanyalah lilin yang menyala,
Lahir, tua , sakit , mati sudah hal biasa,
Timbul lenyapnya cinta kembali sirna.
Mendalami mantra Buddha dan mulai bersadhana,
Kelak menetap abadi di Surga Sukhavatiloka.

Mantera dalam tantra Buddha disebut juga Dharani, memiliki makna penjapaan pokok artinya segala penjapaan mantra tiada batas, kita menyebutkannya sebagai kata sejati, cahaya mantera, hati Tathagata, Ratna manikam.

Yang menapaki sadhana dalam Buddha dharma akan menyadari bahwa Buddha dharma adalah maha tinggi, takjub dan unik.

Memiliki banyak ratna permata antara lain sunya yang sejati, kebijaksanaan, pandangan benar dari Madyami-ka, Abhijna dari Vijnapti dan yoga ekarasa. Paling dasar mendalami Yoga eka-rasa memasuki mantera Buddha.

Mantera Buddha bisa mengabulkan semua doa kita yang bajik, bisa meluruskan segala urusan besar seperti pertobatan,rejeki, kerukunan, penaklukan agar kemakmuran bisa tercapai, panjang umur bahkan mencapai Anuttara Bodhi (keBuddhaan).

Semua mantera berasal dari Buddha Bodhisatva yang prihatin atas penderitaan mahluk hidup, demi menolong mahluk hidup agar terbebas dari duka maka dharani itu diwariskan langsung oleh Buddha Bodhisatva

Kitab intisari Tantrayana menyebutkan “pahala menjapa mantra dan menyebut nama Buddha bagaikan gunung semeru dan samudra luas. Bila hanya menyebut nama Buddha tanpa menjapa mantra, pahala hanya sebatas gunung wangi saja”.


Kitab Anuttarje mengatakan ; Menyebut nama Buddha memang bisa mencakupi tiga akar, namun umat yang terlahir di pantai seberang belum sepenuhnya mencapai alam yang paling suci. Apabila menekuni sesuai Tantra-yana, sepuluh penjuru alam suci dapat dijelajahi sesuai kehendak dan merupakan hal yang pasti terlahir di tingkat paling suci.

Menyebut nama Buddha akan memperoleh rupa nama Buddha, manjapa mantera akan memperoleh hati Tathagata . Dengan menyebut nama Buddha serta menjapa mantra, pencapaiannya paling sempurna.


Contoh mantera dan nama Buddha yang dapat ditekuni. 
Pilih yang paling berjodoh dengan anda (yang paling disukai)

Mantera rahasia [mantera hati] Buddha Amithaba: “Om Ami Te Wa Xie
Menjapa penuh setiap hari hingga 100.000 x semua doa positip terkabul. 
Menjapa penuh setiap hari hingga 350.000x semua siddhi akan diperoleh jauh dari penyakit dan bencana/santet. 
Menjapa lebih banyak lagi semua malapetaka dan gangguan jahat akan lenyap. Bila mampu menjapa 8.000.000x dalam hidupnya akan dijamin terlahir di Surga Sukhavatiloka.

Bila bertemu makhluk suci dalam meditasi dan untuk menguji makhluk suci itu sejati atau siluman/mara japalah “om kulu lienseng Siti hum” 3x jika sejati sinarnya akan lebih terang jika palsu akan ditampakkan wujud aslinya.
Nama Buddha yang dilafalkan : “Namo Amitofo”


Mantera Avalokitesvara [sadaksari mantra] : “Om Mani Pad Me Hum
Menjapa 108x setiap hari seumur hidup tidak akan terlahir ke tiga alam yang lebih rendah dalam kehidupan mendatang mendapat tubuh manusia kembali dan dapat melihat Avalokitesvara (Kwan Se Im Posat). 
Menjapa 21x setiap hari seumur hidup akan menjadi cerdas dan mampu mengingat apapun yang telah dipelajari. Memiliki suara yang merdu menjadi ahli dalam makna semua Buddha dharma.
Menjapa 7x setiap hari seumur hidup, semua kesalahan akan disucikan dan semua rintangan hidup akan disingkirkan dalam kehidupan mendatang. Tidak perduli dilahirkan dimana senantiasa berjodoh dengan Avalokitesvara.
Nama Buddha yang dilafalkan : “Namo Kuan Se Yin Pusa”


Avalokitesvara pernah mengatakan pahala terbesar dalam Tantrayana adalah menjapa Mantra!  
Mengapa ? 
Mantra meliputi segalanya. 
Meliputi angkasa luas. 
Tetapi besar kecil pahala dan kekuatan dharma penjapaan mantra berbeda pada setiap orang. Tergantung tingkat kesucian pikiran / hati orang tersebut.

Menjapa mantra dapat menghapus kotoran, membersihkan karma, menyembuhkan penyakit, menghapus kerisauan bathin merupakan abhiseka manjur sungguh tak terbatas nilainya.

Bagi yang berjodoh dan mempunyai pahala besar akan segera menekuninya dengan rajin, segera mencapai kontak batin dan mencari ajaran selanjutnya.

Bagi yang belum berjodoh/berniat menekuni simpanlah hingga waktunya tiba. 
Bagi sedang bermasalah jangan ragu-ragu lagi, segeralah menjapa mantra !
*


*sumber: http://vajradharmaratna.blogspot.co.id/2014/11/menjapa-mantra-buddha.html

10 Pahala Pelepasan Satwa


Pelepasan satwa (fangshen / Satwamocana) memiliki sepuluh pahala kebajikan berikut:
1. Tiada petaka akibat senjata tajam dan peperangan.
2. Berbagai kemujuran akan berkumpul.
3. Panjang usia dan sehat.
4. Sutra Buddha mengatakan : seorang yang menjalankan sila tidak membunuh dan melakukan
    pelepasan satwa akan memperoleh dua macam pahala yaitu panjang usia, serta banyak rejeki
    dan tiada penyakit.
5. Banyak anak dan harapan akan anak laki laki.
6. Para Buddha bersuka cita.
7. Para hewan akan mengenang jasa. (bibit jodoh baik masa mendatang.)
8. Tiada petaka.
9. Terlahir di surga, bagi yang menekuni metode Tanah Suci akan terlahir di Tanah Suci.
10. Dewasa ini adalah masa masa petaka dalam dunia manusia, rokok, arak, mara kemelekatan
    cinta, semua mengikat para insan. Bila para insan mengerti saling membalas budi, berbagai
    kejahatan akan sirna, setiap saat akan tenteram.

Dunia hewan ada kondisi kemajuan perlahan dari kehidupan rendah menuju tinggi, seperti halnya umat manusia yang semula liar berubah semakin berbudaya. Seperti yang dikatakan oleh para ahli, bahwa setiap makhluk hidup mengalami perubahan karena kondisi luar.

Bila tiap orang dapat menjaga sila dan melepas satwa, maka batin penuh kebajikan akan saling bertaut, turun temurun pada anak cucu, selamanya tenteram dan makmur.


*sumber: http://vajradharmaratna.blogspot.co.id/2014/11/10-pahala-pelepasan-satwa.html

BUKAN DEMI APAPUN


Pada tahun itu, saya terus-menerus melakukan Mahanasmakara, bukan demi melihat Kalacakra, hanya belajar kerendahan hati dari bumi.

Pada bulan itu, saya terus-menerus membaca Sutra Kalacakra, bukan demi memahami makna utama Kalacakra, hanya memutar Sutra tanpa tujuan.

Pada hari itu, tangan saya memegang dupa, mulut memanjatkan mantra, pikiran kosong, apapun tidak dipikirkan.

Pada detik itu, tidak menanti kehadiran Anda, namun Anda datang dengan sendirinya, bahkan saling berhadapan.

Ada foto sebagai bukti:
Anda menatap saya.
Saya menatap Anda.
Hati Anda dan saya sangat lembut.
Saya menyentuh ujung jari Anda yang runcing.

Yang ingin saya beritahu pada Anda semua adalah:
Sutra Vajra mengatakan:
Tiada wujud manusia, tiada wujud diriku, tiada wujud insan, tiada wujud kehidupan.

Saya berkata:
Tiada wujud rupa, tiada wujud Dharma, tiada wujud abhava, tiada wujud sunya, tiada wujud duniawi, tiada wujud non duniawi.

Lebih dalam lagi dikatakan:
Tiada tiada wujud rupa, tiada tiada wujud Dharma, tiada tiada wujud insan, tiada tiada wujud kehidupan, tiada tiada wujud rupa, tiada tiada wujud Dharma, tiada tiada wujud abhava, tiada tiada wujud sunya, tiada tiada wujud duniawi, tiada tiada wujud non duniawi.

Lebih lebih dalam lagi dikatakan:
==Tiada wujud berkah dan pahala,
==tiada wujud Bodhisattva,
==tiada wujud Tathagata.

Saya berkata:
Jelas-jelas ada.
Benar-benar sunya.
Dari sunya melihat abhava.
Dari abhava melihat sunya.
Tidak melekat pada sunya maupun abhava.
Lebih naik satu yana.
Tidak terungkapkan.
(Ini tidak terpikirkan oleh manusia biasa)

Tingkatan alam yang saya capai, sebenarnya juga tingkatan alam, segalanya dianggap sunya, mana ada alam tingkatan?

Empat elemen utama adalah sunya.
Pancaskanda adalah sunya.
Segala yang ada adalah sunya.

Saat ini, dengan sendirinya melepaskan semuanya, dilepaskan dengan:
Satu benang pun tidak menempel.
Satu debu pun tidak mengotori.
Satu wujud pun tidak melekat.

Saya menulis buku ini, bukan demi dipercaya orang lain, bukan demi popularitas dan keuntungan, bukan demi kedudukan, bukan demi pendapat sendiri, bukan demi istri, bukan demi anak, bukan demi hasrat, bukan demi cinta, bukan demi keserakahan, bukan demi reputasi, bukan demi perasaan, bukan demi rupa, bukan demi orang lain dan diri sendiri.
Apapun bukan!

Orang bertanya,“Mengapa menulis?”
Saya menjawab, “Demi menulis, saya menulis!”

**dikutip daribuku ke 248: Keajaiban Alam, Judul Asli "Berhadap-hadapan dengan Kalacakra"
  dicopas dari: http://tbsn.org/indonesia/news.php?cid=23&csid=259&id=5

KUNCI LANGIT


Saya bermeditasi di rumah.
Ada sesosok dewa terbang melewati di atas angkasa di mana saya bermeditasi, Ia melihat di depan tersorot tiga berkas cahaya, ketiga berkas cahaya ini antara lain:
Cahaya Buddha.
Cahaya spiritual.
Cahaya putih.
Dewa ini sangat terkejut, ia datang ke hadapan saya dan bertanya, “Siapa gerangan Yang Arya?”
Saya menjawab, “Saya tidak tahu.”
Dewa bertanya, “Di tengah angkasa muncul cahaya Buddha, cahaya spiritual, cahaya putih, ketiga cahaya ini terpancar, bukankah Yang Arya adalah Buddha, Tathagata, Bhagavan?”
Saya menjawab, “Bukan! Saya bukan Buddha, Tathagata, Bhagavan!”
Dewa bertanya, “Anda pasti Mahadewa?”
Saya menjawab, “Bukan! Saya bukan Mahadewa!”
Dewa bertanya lagi, “Kalau Yang Arya bukan Buddha, bukan Mahadewa, pasti seorang Mahabodhisattva, benarkah?”
Saya menjawab, “Bukan! Saya bukan Bodhisattva!”
Terakhir Dewa bertanya, “Lalu, siapa gerangan diri Anda?”
Saya menjawab, “Saya sungguh makin tidak mengerti siapa saya sebenarnya? Tetapi, saya mampu mengosongkan segalanya, saya hanya seorang manusia yang tidak tercemar oleh duniawi.”
Begitu Dewa mendengarnya. Terbahak-bahak lalu pergi, sambil tertawa, Ia berkata, “Tidak tercemar oleh duniawi, tidak tercemar oleh duniawi, inilah yang memiliki kunci langit, dapat tiba di segala tempat, tak heran, tak heran!”
Dewa terbang ke angkasa dan berkata, “Saya tahu Yang Arya adalah Dharmaraja Liansheng Sheng-yen Lu!”
Saya berkata, “Itu hanya tanda pengenal saja.”
Dewa berkata, “Saya hanya tahu ada seseorang, berkali-kali turun ke dunia untuk melindungi kebenaran sejati, menghancurkan kesesatan, menegakkan Dharma sejati, di tangannya terdapat kunci langit, dapat mencapai segala alam Dharma, saya bernamaskara pada Yang Arya.”
Saya berkata, “Dewa yang termulia, kalau begitu, bernamaskaralah pada angkasa! Anda pasti mengerti maksud saya.”
Dewa berkata, “Benar, benar.”
Sajak: (Angkasa)
Siapa saya?
Saya siapa?
Lupa dengan segalanya dan tidak berbuat apapun
Timur juga
Barat juga
Tangan memegang kunci
Menetap di mana-mana
Anda bertanya padaku
Saya bertanya padamu
Kita tidak saling mengecewakan


*Prakata dari buku ke 260: Kunci Langit
*dicopy dari :http://tbsn.org/indonesia/news.php?cid=23&csid=272&id=6

Kamis, 15 Februari 2018

NEGERI SETAN RAKSASA


Suatu malam, saya masuk ke negeri setan raksasa, ini adalah sebuah negeri yang sangat menakutkan, ada setan berkepala besar, setan kotor, setan bermata satu, setan tak bertangan, setan tak berkaki, setan iga. ....

Ada semacam setan yang sangat istimewa, organ dalam tubuh tergantung di luar tubuh, sekujur tubuh dirayapi oleh serangga.

Perilaku setan-setan ini:
-- Asusila.
-- Makan darah segar.
-- Bicara cabul.

Aneh.
-- Memanjatkan kitab aneh.
-- Menyembahyangi hantu.
-- Telanjang.
-- Saling membunuh, mengunyah tangan dan kaki.

Singkat kata, saya tidak mampu menggambarkan [koadaan] negeri setan raksasa, karena negeri ini, dunia setan raksasa ini, benar-benar adalah "kota dosa", merubuhkan pemikiran saya, sepanjang hidup saya, tidak pernah terpikirkan ada dunia seperti ini. Di dalam pemikiran saya, tidak ada konsep seperti ini.
*

Saya teringat dengan orang-orang punk, pix, pecundang, hippie, preman berkumpul. 
Seperti sebuah rumah sakit jiwa yang tak bertepi.

Saya menerobos di antaranya.

Para setan melihat kedatangan saya, sekelompok setan menyerbu, saya melarikan diri, mereka mengejar, saya melarikan diri ke setumpuk reruntuhan.

Yang menakutkan adalah:
Saya menemukan Dharmaduta Zhenfo Zong. Di antaranya ada upasaka/sika dan bhiksu/ni.

Oh, Tuhan! Saya terperanjat.
Tak disangka mereka masuk ke negeri setan raksasa.
Sebagian sedang makan tanah. (hanya karena menelan mahavihara, vihara, dan cetiya)
Sebagian makan tembaga dan besi. (hanya karena menelan materi insan)
Sebagian minum darah. (keserakahan untuk memberi makan keluarga mereka)
Sebagian makan tulang manusia. (keserakahan akan rupa)
Sebagian berkomat-kamit, berkeliaran tanpa tujuan. (kehilangan sradha)
......
Semua ini melanggar Samaya.
Jijik! Jijik! Amis! Amis!

Orang-orang tersebut, jiwa dan raga mereka bernanah, sekujur tubuh menebarkan bau tidak enak, orang yang sangat menderita tak tertahankan, melihat kedatangan saya.
Ada yang tertawa bodoh.
Ada yang memperlihatkan taring dan memainkan cakar.
Ada yang melarikan diri.
Ada yang menengadah dan menggoyangkan ekor.
Saya melihatnya, tidak habis pikir, sangat tidak berdaya.
*

Saat ini, ada seberkas cahaya datang, muncul Dewa Samaya, dewa memancarkan sinar keemasan, tangan memegang penggaris Sila.

Ia berkata:
Semua benda yang dibuat, berakhir dengan kerusakan; 
semua kekayaan yang dikumpulkan, berakhir dengan kehabisan; semua pria dan wanita yang berwujud, berakhir dengan perpisahan; 
kehidupan apapun, akhirnya adalah kematian; 
semua bhajana-loka, berakhir dengan kehilangan.

Dengan demikian, masihkah serakah?
Dengan demikian, masihkah benci?
Dengan demikian, masihkah bodoh?
Mahaguru Lu! Anda harus beritahu orang-orang ini!

Saya berpikir:
Segala sesuatu di dalam tumimbal lahir, sungguh tidak ada artinya, hanya sumber penderitaan saja.
Saya sendiri juga harus sadar.
Kemudian menyadarkan insan lain.
Karena segala sesuatu di dunia manusia "tidak ada yang didapatkan", kita harus ada niat meninggalkan samsara dan terbebaskan.
*

Siswa mulia yang terkasih!
Saya prihatin dengan orang-orang yang terjatuh ke dalam negeri setan raksasa!
Berhati-hatilah! Berhati-hatilah!


sumber: http://tbsn.org/indonesia/news.php?cid=23&csid=252&id=8962

MENYARANKAN MENJAPA MANTRA BODHISATTVA MANJUSHRI



Ada seorang bernama Lianhua Yuehui melahirkan seorang putra, saat anak ini lahir, kepala bulat dan bertelinga panjang, mirip sekali dengan Maitreya versi China, berkepala bulat, berperut bulat, keempat anggota badan juga gemuk, tertawa lebar, sangat gembira, mengikuti lomba bayi sehat, mendapatkan juara satu.

Belakangan tumbuh dewasa, keluarganya menemukan ada tanda-tanda aneh.

Berjalan tertatih-tatih.
Tidak bisa bicara.
Kedua mata tidak bisa melihat dengan jelas.

Keluarganya memintanya untuk melakukan sesuatu, ia tidak bisa lakukan, atau tidak mengerti melakukan, bentuknya makin lama makin mirip cacat mental.

Sering tertawa dingin.
Meneteskan air liur.
Hanya bisa berteriak, “Ah! Ah!”

Orang tuanya kuatir, diperiksakan ke dokter, ada seorang dokter berkata bahwa ia menderita sejenis epilepsi.

Dokter lain berkata bahwa ia menderita autisme.

Orang tuanya membawanya ke hadapan saya.

Saya menjamah kepala memberkati si anak, saya menyarankan orang tuanya sering menjapa Mantra Bodhisattva Manjushri dan melimpahkan jasanya kepada si anak. Mantra Manjushri adalah, “Om A La Ba Zha Na Di”.

*
Lianhua Yuehui adalah siswa yang bersradha sangat teguh.

Ada orang berkata, “Kalian percaya Mahaguru Lu, namun, malah melahirkan putra kesayangan seperti ini, masih percaya apa lagi?”

Lianhua Yuehui menjawab, “Ini adalah rintangan karma kami sendiri, mana boleh menyalahkan Mahaguru Lu!”

Orang itu berkata, “Bukankah Mahaguru Lu akan melindungi?”

Lianhua Yuehui menjawab, “Mahaguru Lu memiliki 5 juta siswa, rintangan karma setiap orang berbeda-beda; ini sama seperti begitu banyak penganut Agama Buddha, rintangan karma juga berbeda-beda, bukan berarti setiap umat Buddha selamat sejahtera dan segalanya berjalan dengan baik!”

Lianhua Yuehui melanjutkan, “Sang Buddha hanya mengajari kita ketidakkekalan. Sang Buddha sendiri juga mengalami lahir, sakit, tua, dan kematian, sama-sama mengalami banyak bencana!”

Si pendatang merasa malu dan pergi.

*
Lianhua Yuehui lebih rajin lagi menjapa mantra Manjushri.

Tiba-tiba suatu malam, melihat Bodhisattva Manjushri datang, Bodhisattva menunggang singa, menampilkan warna lazuardi, Bodhisattva berwarna hijau tua, singa berwarna kuning, hanya terlihat Bodhisattva memegang pedang.

Hanya satu sabetan pedang, kepala si anak dipenggal.

Yuehui sangat sedih!

Namun, terlihat Bodhisattva Manjushri membawa sebuah kepala dari tempat lain, secara perlahan, kepala tesebut dipasangkan ke leher si anak.

Yuehui terkejut sekali melihatnya.

Saking terkejutnya, ia pun terbangun, ternyata hanya sebuah mimpi.

Ia melihat anaknya.

Terlihat si anak tertidur pulas, melihat leher si snak, tidak ada keanehan, ia pun lega.

Setelah bermimpi seperti ini, suami pulang dari luar kota, membeli sebuah pratima Bodhisattva Manjushri yang terbuat dari lazuardi, Bodhisattva berwarna hijau tua, singa berwarna kuning, Yuehui melihatnya, berseru keras, “Luar biasa!”

Yang paling luar biasa adalah putra Lianhua Yuehui, makin hari makin normal, menjadi anak yang cerdas.

*
Siswa mulia yang terkasih:

Setiap orang memiliki rintangan karma masing-masing, dan rintangan karma setiap orang belum tentu sama.

Setiap keluarga mempunyai kesulitan masing-masing.

Mohon Mulaguru memberkati, mohon Buddha Bodhisattva memberkati, yang terpenting adalah “menghormati dengan tulus”.

Yang berjodoh pasti terbebaskan dari malapetaka!

Seperti Lianhua Yuehui menjapa mantra Manjushri, menyaksikan sendiri Manjushri, malapetaka pasti teratasi!


Tambahan:
Link Youtube penjapaan mantra hati Bodhisattva Manjushri oleh Imee Ooi, klik disini


sumber tulisan: http://tbsn.org/indonesia/news.php?cid=23&csid=252&id=8973

Kamis, 08 Februari 2018

TANPA PEMBINAAN DIRI AKAN MENJADI HANTU


   Penulis sekarang berusia 39 tahun. [Catatan: Maha Acarya Lu menulis buku ini pada tahun 1983] Saya tidak bisa mengatakan saya sudah tua karena saya belum mencapai usia 60 tahun. Saya tidak mengatakan saya masih muda pula karena saya segera mencapai usia 40 tahun. Dalam waktu 40 tahun lagi, maka saya akan mencapai usia 80 tahun yang dianggap sebagai usia yang jarang dapat dicapai. Bila saya merenungkan masalah usia, setengah dari usia saya ini telah hilang.

     Beruntung bahwa pada saat saya berusia 26 tahun, secara gaib dan kebetulan, saya menjadi sadar akan sebab dan kondisi kehidupan kehidupan masa lampau saya. Dari saat itu sampai sekarang, saya telah melatih diri selama 14 tahun tanpa menundanya satu hari sekalipun. Akhirnya, saya berhasil mencapai "8 Kekuatan External" (External Eight Accomplishments) dan akan mengabdikan sisa hidup saya untuk melatih "8 Kekuatan Internal" (Internal Eight Accomplishments). Saya mempunyai keyakinan bahwa saya akan mencapai keBudhaan dalam kehidupan saya yang sekarang. Saya telah berikrar untuk melatih diri dengan Vajra-dharma. Saya adalah yidam, mencapai keBudhaan dalam kehidupan yang sekarang. Saya telah berhasil dan mengalami semua respons/kontak batin yang disyaratkan.

     Sekarang, di mata saya, ke 3000 alam itu terlihat kecil seperti sebutir beras. Roh saya dapat memenuhi angkasa di enam penjuru atau menyusut kedalam sebutir pasir. Setelah berhasil penuh, roh saya dapat keluar dari ubun ubun kepala dan terbang ke tanah suci Budha yang manapun dan ke 10 alam Dharma. Dengan mendapatkan mata dewata, saya dapat melihat segala sesuatu di sepuluh alam Dharma. Dengan telinga dewata, saya dapat mendengar ajaran Dharma kapanpun juga. Dengan 'penguasaan diri' dan kemerdekaan, saya bebas sepenuh­nya untuk melakukan segala sesuatu tanpa hambatan. Roh saya dapat terjun kedalam air tanpa tenggelam dan masuk kedalam api tanpa terbakar. Saya dapat menerjang semua pintu neraka dan mengatasi hukum sebab akibat, tidak lagi dibatasi oleh panca-skandha. Sewaktu saya mencapai nirvana, sudah pasti akan timbul kejadian kejadian gaib. Saya dapat menyembuhkan penyakit, mengangkat para insan dari penderitaan, dan melatih diri dengan semua metode rahasia yang tak pernah terpikir bisa dilakukan.

     Karena saya telah membuat resolusi Bodhicitta yang terbesar, sudah sewajarnya saya menaruh welas asih kepada para insan. Terlahir sebagai manusia sungguh merupakan kesempatan yang sukar didapat. Sungguh sayang bahwa orang tidak menyadari pentingnya pembinaan diri selagi mempunyai tubuh fisik manusia ini. Begitu tubuh fisik manusia ini hilang (mati), anda belum tentu bisa mendapatkannya lagi dalam 10 ribu tahun. Lagipula, usia manusia sangatlah pendek dan mudah berubah. Dalam sekejab, seseorang bisa mati seperti matinya lampu. Tak terhitung orang yang mati dalam usia muda. Usaha membina diri harus dimulai sedini mungkin seperti usaha mematikan api kebakaran.

     Menurut pandangan saya, para insan di dunia fana ini yang mengejar posisi/jabatan tinggi adalah seperti insekta di tempat kotoran, berputar putar naik turun, saling bergulat untuk berada di tempat paling atas. Insekta insekta ini mati tanpa mencapai penerangan! Karena mereka begitu cintanya dengan posisi/jabatan tinggi, setelah mereka mendapatkannya, mereka tidak bisa meninggalkannya seperti halnya orang yang kecanduan ganja. Mereka yang kehilangan jabatannya berada dibawah belas kasihan dari yang lainnya seperti halnya insekta yang mati. Kenaikan dan jatuhnya seseorang dari jabatan dan status sosial tidak berbeda dari jatuh bangunnya insekta insekta. Mengapa mengikat diri pada penderitaan semacam itu? Sudah waktunya bagi mereka untuk membuang kebodohan mereka itu dan mulai melatih diri.

     Ada lagi orang orang yang gila harta dan keuntungan. Karena uang adalah segala galanya, yang mereka lihat hanyalah koin dan hal hal lainnya tak lagi mengandung makna bagi mereka. Dengan bisnis mereka yang maju pesat, mereka sibuk siang dan malam tanpa ada waktu luang. Hidup dan energi mereka semuanya dituangkan kedalam persaingan sengit untuk mendapatkan keuntungan uang. Sebagai akibatnya, mereka jatuh terpotong potong bagaikan kulit luar dari batang bambu. Diantara mereka, yang berhasil tidak mencapai apa apa kecuali meninggalkan kemewahan bagi anak cucu mereka. Yang tidak berhasil menjadi tua tanpa mereka sadari. Kesulitan datang menimpa mereka silih berganti membuat hidup mereka sangat menderita.

     Bahkan lebih rendah lagi dari orang orang ini adalah mereka yang bermabuk-mabukan, berjudi, dan menipu. Apapun yang mereka lakukan atau pikirkan adalah hal yang buruk dan menimbulkan karma buruk. Tanpa menyadari adanya pembalasan hukum karma, mereka tidak berhenti menumpuk karma buruk. Yang lebih parah lagi, sebagian orang sangat menikmati perbuatan perbuatan jahat seperti membunuh, merampok, membakar rumah orang, memperkosa, dan lain sebagainya. Penderitaan para insan meningkat. Metode metode pembinaan diri tak lagi dihiraukan.

     Karena rasa kasih dan belas kasihan kepada para insan ini, saya menulis buku buku rohani untuk menyadarkan mereka. Saya telah menulis 45 buku sampai sekarang [Catatan: terhitung s/d tahun 1983], menjelaskan dari yang paling dasar sampai ke teori yang paling dalam mengenai Budhisme.  Ini merupakan buku saya yang ke 45 dan akan membahas mengenai seni meditasi yang sejati. Buku ini berisi metode metode penting yang diwariskan oleh para guru guru pewaris. Buku ini berisi cara rahasia untuk mencapai keBudhaan. Buku ini berisi rahasia rahasia dewata dan misteri dari alam semesta. Dalam tulisan ini, saya menggunakan bahasa yang membuat kebenaran yang paling rumit dapat dimengerti oleh pembaca.  Dengan harapan dapat menyadarkan umat dari penderitaan, saya menjelaskan cara cara yang benar untuk mencapai Kebenaran (Tao) dengan harapan supaya orang orang yang berjodoh akan mendapatkan buku ini. Mereka yang berjodoh akan berlatih setiap hari berdasarkan instruksi dari guru guru yang berpenge­tahuan untuk mencapai pengertian akan kebenaran sejati. Bila mereka berlatih dengan tulus seni meditasi ini, mereka akan cepat lambat mendapatkan keberhasilan dan mencapai keBudhaan. Mereka akan tiba di pantai seberang untuk hidup di alam kebahagiaan. Inilah resolusi Bodhicitta saya -- menulis buku buku kebatinan serajin mungkin demi menyelamatkan para insan.

      Sekarang ini, meskipun saya hanya berlatih dirumah (tidak menjadi Bhiksu), saya sama saja seperti seorang rahib. Saya tinggal di lantai atas rumah saya di kota Seattle, Amerika Serikat. Di altar saya terdapat hiolo tembaga kuno, cermin kuno, sebuah bel vajra, dan sebuah dorje vajra. Di lantai, terdapat karpet. Dalam acara meditasi saya, dengan topi mahkota merah suci di kepala saya dan berpakaian kasaya, saya membaca mantra, membentuk mudra, dengan asap dupa mengebul perlahan lahan. Diatas meja, peralatan untuk menulis hu. Dengan pikiran yang dalam keadaan tenang, saya merasa berada seperti di surga.

      Disini saya berlatih setiap hari, membaca sutra dan duduk bermeditasi, tidak pernah perduli dengan peristiwa peristiwa tak berarti di dunia, tidak terganggu siapapun. Dalam acara meditasi saya, saya berkunjung ke alam alam dewata. Bila telah lelah, saya tidur beberapa menit. Bila sudah segar, saya terbang lagi ke alam surga. Ini seperti yang diuraikan oleh sebuah ungkapan: "Alamiah, tak terikat, dan bebas sepenuhnya. Saya merasa seperti seorang yidam, terang dan kosong. Dengan dupa menyala, saya melihat segala sesuatu kosong adanya. Roh saya menembus segala langit dan bersinar pada kebenaran seperti halnya matahari dan bulan."

     Guru saya, Yang Mulia San San Chiu Hou (Tiga Gunung dan 9 Bagian) pernah berkata: "Dewa anda adalah roh anda sendiri, bukan pikiran yang biasa kita gunakan untuk berpikir, bukan hati fisik dibawah paru paru. Kekuatan batin adalah kemampuan untuk memanggil roh dan mengubah diri menjadi makhluk suci, kemampuan untuk menembus alam semesta dengan roh sendiri, dan kemampuan untuk mengubah diri menjadi banyak penjelmaan. Semua sadhaka yang telah berhasil tahu akan hal ini. Orang awam di dunia fana ini tidak menyadarinya. Hari ini saya telah menulis "The Art of Meditation" yang memenuhi keinginan langit dan kebutuhan dunia. Usahanya agung adanya. Mengfitnahnya adalah sama seperti mengfitnah sang Budha, satu dosa yang tak termaafkan.

     Avalokitesvara Bodhisattva (Kwan Im) datang memberitahu saya, "Ketika saya membabarkan Maha Karuna Dharani dahulu kala, bumi bergetar dan menunjukkan enam bentuk perubahan. Bunga bunga indah berjatuhan dari angkasa di semua tempat. Seluruh Budha di sepuluh penjuru bergembira dan memujinya. Roh jahat dan roh sesat panik ketakutan. Mereka yang melafal mantra ini akan mencapai keberhasilan. Sebagian akan menjadi Srotapannas (stream enterer -dhyana 1), sebagian akan menjadi sakrdagamins (kembali ke dunia sekali lagi sebelum mencapai keBudhaan), sebagian menjadi anagamins (never returner) dan sebagian menjadi arahat. Sebagian bahkan menjadi bodhisattva dari tingkat satu sampai tingkat sepuluh. Berbagai insan membuat resolusi bodhicitta. Hari ini Lu Sheng-yen telah menulis buku "The Art of Meditation" yang mirip dengan Maha Karuna Dharani yang saya perkenalkan. Mereka yang melatih diri dengan metode ini akan dilindungi oleh para dewa yang tidak akan pernah meninggalkan sang sadhaka sedetik sekalipun. Para dewa itu termasuk 4 Raja Dewa, para dewa, naga, yaksa, asura, garuda, gandharva, kimnara, mahoraga, kumarirupa, dewa tanah, dewa laut dan sungai, dewa musim semi, dewa arus, dewa obat, dewa hutan, dewa kuda, dewa air, dewa api, dewa angin, dewa gunung, dewa bumi, dewa istana, dan lain sebagai­nya -- semuanya akan memberikan perlindungan kepada para sadhaka.

    Guru Padmasambhava, patriak pertama dari Tantra Tibet, memberitahu saya: "Di jaman sekarang, roh jahat berkuasa dimana mana. Pergerakan alam tak teratur, dengan hujan dan terbitnya matahari yang tidak tepat waktu, angin dan banjir yang membawa bencana. Sutra sutra suci dibakar menjadi abu; penyakit dan bencana berada dimana mana, peperangan terjadi disini sana. Bila seseorang tidak mengetahui dharma yang benar, ia akan terjatuh ke alam kelahiran yang rendah (neraka, setan kelaparan, dan binatang). Sungguh beruntung Lu Sheng-yen dengan tepat waktu telah menulis buku buku kebatinan (rohani) ini yang mengajarkan secara sistimatis pintu masuk menuju Tantrayana yang luar biasa, dari yang paling dasar sampai yang paling dalam. Bila seseorang melatih diri dengan sepenuh hati apa yang diuraikan dalam "The Art of Meditation", ia akan menyadari berbagai bentuk kebijaksanaan, mencapai kesucian samadhi, dan mengerti hukum hukum alam semesta, terbebaskan dari rintangan karma buruk yang tertumpuk semenjak 1000 tahun yang telah lewat. Bila ia dapat melatih rohnya, ia akan mengetahui semua kebenaran tentang kehidupan dan kematian baik di masa lalu maupun di masa depan. Ia akan mendapatkan semua kebijaksanaan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Lebih dalam lagi, ia akan mencapai tingkat bodhisattva, melihat semua Budha, mendengar ajaran mereka sehingga menghilangkan karmanya semenjak waktu yang tak terhingga.

    Yang mulia San San Chiu Hou, Avalokitesvara Bodhisattva, dan Guru Padmasambhava semuanya muncul dalam meditasi saya dan meninggalkan instruksi instruksi mereka. Saya sungguh berharap mereka yang mendapatkan buku ini melatih diri sehari sekali dengan tekun dan kemudian melipat gandakan usaha latihan setelah beberapa lama. Semoga mereka tidak mengecewakan para bodhisattva yang telah sekali lagi turun untuk menyadarkan para insan. Ini merupakan keberuntungan luar biasa bagi semua insan dibawah matahari.

     Biarlah saya sampaikan pada para pembaca bahwa orang orang yang berintelek tajam tidak hanya melatih diri dalam satu atau dua kehidupan saja, tetapi dalam banyak kehidupan. Orang orang yang berjodoh dengan Budha biasanya langsung mempercayai Budhisme begitu mereka mendengar nama Budha -- ini merupakan hasil latihan di kehidupan masa lampau. Orang yang tidak berjodoh dan belum pernah melatih diri sebelumnya biasanya ragu ragu. Tetapi asalkan mereka mendekati Budha setiap hari dan mendapatkan kontak batin, mereka secara alamiah membangun kebijaksanaan dan akhirnya tiba di pantai seberang juga. Saya berharap para pembaca membuang semua kemelekatan, berkonsentrasi pada Budha Dharma selagi hidup di dunia yang fana ini. Bila anda duduk bermeditasi sejam sehari, anda akan menemui bunga teratai emas yang mekar sewaktu anda meninggal dunia. Anda pasti akan pergi ke surga Sukhawati. Bukankah itu sangat baik?

     Semoga semua insan sadar akan sifat sejati mereka.

Lu Sheng-yen, Juni 1983
**dicopas dari ebook Padmakumara-02, kisah no 2.1, judul asli:  Tetap menjadi hantu tanpa pembinaan diri, merupakan Prakata dari buku "Seni Meditasi"