Jumat, 23 Maret 2018

SALIRA SEBAGAI BUKTI



         Berita yang akhir akhir ini menimbulkan kegemparan luar biasa di kalangan Budhis adalah sebagai berikut: "Beberapa tahanan dari penjara Chang-yi Singapura yang akan menjalankan hukuman mati telah memutuskan untuk mengangkat guru kepada Living Budha Lian-Shen dan dengan tekun melatih diri dengan Dharma Tantrayana Cen Fo Cung. Hasilnya, setelah mereka menjalankan hukuman mati dan dikremasikan, sarira (reliks) ditemukan dari sisa sisa kremasi." Berikut ini adalah catatan mengenai sarira sarira yang ditemukan dari sisa sisa kremasi ke empat tahanan (siswa saya) yang menjalankan hukuman mati:

(1) Lianhua Ah‑lin‑He, melatih diri dengan Catur Prayoga selama kira kira satu tahun. Ia dihukum mati pada tanggal 6 Septem­ber 1991. 
         Setelah dikremasikan, 12 sarira ditemukan.

(2) Lianhua Ching‑wen‑He, melatih diri dengan Catur Prayoga selama kira kira 3 tahun. Ia dihukum mati pada tanggal 15 November 1991. 
         Setelah dikremasikan, lebih dari 30 sarira ditemukan.

(3) Lianhua Bao‑sheng‑He, melatih diri dengan Yidam Cundi Yoga selama 3 tahun dan 9 bulan. Ia dihukum mati pada tanggal 28 Maret 1992. Setelah dikremasikan, tiga sarira ditemukan. Keesokan harinya, sebuah sarira lagi ditemukan yang tumbuh dari ketiga sarira pertama.

(4) Lianhua You‑ching‑He, melatih diri dengan Yidam Padmakumara Yoga selama 4 tahun dan 5 bulan. Ia dihukum mati pada tanggal 3 April 1992. Setelah dikremasikan, banyak bunga sarira dan 20 sarira mahkota ditemukan.  

Sarira biasa juga disebut "relics" dan hanya ditemukan pada sadhaka sadhaka yang telah mencapai tingkah keberhasilan pembinaan diri yang tinggi.

Sejak dahulu kala, sarira dianggap sebagai bukti dari pencerahan.

Bila sarira ditemukan setelah seorang rahib penting/senior dikremasikan, orang orang akan menempatkan sarira itu di altar dan memujanya.

Karena itu, tidak diragukan lagi bahwa aliran Cen Fo Cung dari Living Buddha Lian-Shen adalah sebuah aliran Buddhis yang di jalan yang benar dan bahwa Dharma Tantrayana Cen Fo Cung adalah Dharma Buddhis yang benar pula.

Ini didukung dengan fakta bahwa mereka yang melatih diri dengan dharma ini, tahanan hukuman mati sekalipun, akan mencapai keberhasilan pembinaan diri yang besar. Sekarang apa yang dapat dikatakan oleh orang orang yang menyampaikan tuduhan tuduhan negatif?
Semua gosip telah hancur!
Saya ingin menasihati mereka yang mengatakan Cen Fo Cung sebagai aliran sesat untuk melihat fakta dan bukti.
Saya menganjurkan mereka untuk dengan tulus memperbaiki kesalahan mereka dan mengubah jalan hidup mereka.
Mereka pun dapat melatih diri dengan Dharma Tantraya­na Cen Fo Cung. Janganlah ragu lagi.
Janganlah menanam benih di neraka!


**Dikutip dari ebook Padmakumara-02, artikel no.1.7 
Judul asli: Ditemukannya Sarira Sebagai Sebuah Bukti
(Judul asli: Dharma Budha yang benar, oleh Maha Acarya Lu Sheng-yen,
Diterjemahkan dari suratkabar "The Hwa Yu Post" No. 27, tanggal 14 Agustus 1992)

Selasa, 20 Maret 2018

MENJAPA MANTRA BUDDHA


Dalam menjalankan Agama Buddha Tantrayana ada 3 hal yang harus dijalankan untuk mencapai keBuddhaan dalam tubuh sekarang, yaitu :

1. Menjapa Mantera
2. Meditasi
3. Melaksanakan Api Homa

Dari ketiga hal, yang paling gampang dan harus dijalankan adalah yang nomor satu Menjapa Mantera.

Simak syair di bawah ini


Menjapa  MANTRA BUDDHA

Jangan ragu-ragu menjapa mantera, 
Mudah mengikis dosa dan karma,
Menyadari dunia fana bagaikan penjara,
Harta dan tahta hanyalah lilin yang menyala,
Lahir, tua , sakit , mati sudah hal biasa,
Timbul lenyapnya cinta kembali sirna.
Mendalami mantra Buddha dan mulai bersadhana,
Kelak menetap abadi di Surga Sukhavatiloka.

Mantera dalam tantra Buddha disebut juga Dharani, memiliki makna penjapaan pokok artinya segala penjapaan mantra tiada batas, kita menyebutkannya sebagai kata sejati, cahaya mantera, hati Tathagata, Ratna manikam.

Yang menapaki sadhana dalam Buddha dharma akan menyadari bahwa Buddha dharma adalah maha tinggi, takjub dan unik.

Memiliki banyak ratna permata antara lain sunya yang sejati, kebijaksanaan, pandangan benar dari Madyami-ka, Abhijna dari Vijnapti dan yoga ekarasa. Paling dasar mendalami Yoga eka-rasa memasuki mantera Buddha.

Mantera Buddha bisa mengabulkan semua doa kita yang bajik, bisa meluruskan segala urusan besar seperti pertobatan,rejeki, kerukunan, penaklukan agar kemakmuran bisa tercapai, panjang umur bahkan mencapai Anuttara Bodhi (keBuddhaan).

Semua mantera berasal dari Buddha Bodhisatva yang prihatin atas penderitaan mahluk hidup, demi menolong mahluk hidup agar terbebas dari duka maka dharani itu diwariskan langsung oleh Buddha Bodhisatva

Kitab intisari Tantrayana menyebutkan “pahala menjapa mantra dan menyebut nama Buddha bagaikan gunung semeru dan samudra luas. Bila hanya menyebut nama Buddha tanpa menjapa mantra, pahala hanya sebatas gunung wangi saja”.


Kitab Anuttarje mengatakan ; Menyebut nama Buddha memang bisa mencakupi tiga akar, namun umat yang terlahir di pantai seberang belum sepenuhnya mencapai alam yang paling suci. Apabila menekuni sesuai Tantra-yana, sepuluh penjuru alam suci dapat dijelajahi sesuai kehendak dan merupakan hal yang pasti terlahir di tingkat paling suci.

Menyebut nama Buddha akan memperoleh rupa nama Buddha, manjapa mantera akan memperoleh hati Tathagata . Dengan menyebut nama Buddha serta menjapa mantra, pencapaiannya paling sempurna.


Contoh mantera dan nama Buddha yang dapat ditekuni. 
Pilih yang paling berjodoh dengan anda (yang paling disukai)

Mantera rahasia [mantera hati] Buddha Amithaba: “Om Ami Te Wa Xie
Menjapa penuh setiap hari hingga 100.000 x semua doa positip terkabul. 
Menjapa penuh setiap hari hingga 350.000x semua siddhi akan diperoleh jauh dari penyakit dan bencana/santet. 
Menjapa lebih banyak lagi semua malapetaka dan gangguan jahat akan lenyap. Bila mampu menjapa 8.000.000x dalam hidupnya akan dijamin terlahir di Surga Sukhavatiloka.

Bila bertemu makhluk suci dalam meditasi dan untuk menguji makhluk suci itu sejati atau siluman/mara japalah “om kulu lienseng Siti hum” 3x jika sejati sinarnya akan lebih terang jika palsu akan ditampakkan wujud aslinya.
Nama Buddha yang dilafalkan : “Namo Amitofo”


Mantera Avalokitesvara [sadaksari mantra] : “Om Mani Pad Me Hum
Menjapa 108x setiap hari seumur hidup tidak akan terlahir ke tiga alam yang lebih rendah dalam kehidupan mendatang mendapat tubuh manusia kembali dan dapat melihat Avalokitesvara (Kwan Se Im Posat). 
Menjapa 21x setiap hari seumur hidup akan menjadi cerdas dan mampu mengingat apapun yang telah dipelajari. Memiliki suara yang merdu menjadi ahli dalam makna semua Buddha dharma.
Menjapa 7x setiap hari seumur hidup, semua kesalahan akan disucikan dan semua rintangan hidup akan disingkirkan dalam kehidupan mendatang. Tidak perduli dilahirkan dimana senantiasa berjodoh dengan Avalokitesvara.
Nama Buddha yang dilafalkan : “Namo Kuan Se Yin Pusa”


Avalokitesvara pernah mengatakan pahala terbesar dalam Tantrayana adalah menjapa Mantra!  
Mengapa ? 
Mantra meliputi segalanya. 
Meliputi angkasa luas. 
Tetapi besar kecil pahala dan kekuatan dharma penjapaan mantra berbeda pada setiap orang. Tergantung tingkat kesucian pikiran / hati orang tersebut.

Menjapa mantra dapat menghapus kotoran, membersihkan karma, menyembuhkan penyakit, menghapus kerisauan bathin merupakan abhiseka manjur sungguh tak terbatas nilainya.

Bagi yang berjodoh dan mempunyai pahala besar akan segera menekuninya dengan rajin, segera mencapai kontak batin dan mencari ajaran selanjutnya.

Bagi yang belum berjodoh/berniat menekuni simpanlah hingga waktunya tiba. 
Bagi sedang bermasalah jangan ragu-ragu lagi, segeralah menjapa mantra !
*


*sumber: http://vajradharmaratna.blogspot.co.id/2014/11/menjapa-mantra-buddha.html

10 Pahala Pelepasan Satwa


Pelepasan satwa (fangshen / Satwamocana) memiliki sepuluh pahala kebajikan berikut:
1. Tiada petaka akibat senjata tajam dan peperangan.
2. Berbagai kemujuran akan berkumpul.
3. Panjang usia dan sehat.
4. Sutra Buddha mengatakan : seorang yang menjalankan sila tidak membunuh dan melakukan
    pelepasan satwa akan memperoleh dua macam pahala yaitu panjang usia, serta banyak rejeki
    dan tiada penyakit.
5. Banyak anak dan harapan akan anak laki laki.
6. Para Buddha bersuka cita.
7. Para hewan akan mengenang jasa. (bibit jodoh baik masa mendatang.)
8. Tiada petaka.
9. Terlahir di surga, bagi yang menekuni metode Tanah Suci akan terlahir di Tanah Suci.
10. Dewasa ini adalah masa masa petaka dalam dunia manusia, rokok, arak, mara kemelekatan
    cinta, semua mengikat para insan. Bila para insan mengerti saling membalas budi, berbagai
    kejahatan akan sirna, setiap saat akan tenteram.

Dunia hewan ada kondisi kemajuan perlahan dari kehidupan rendah menuju tinggi, seperti halnya umat manusia yang semula liar berubah semakin berbudaya. Seperti yang dikatakan oleh para ahli, bahwa setiap makhluk hidup mengalami perubahan karena kondisi luar.

Bila tiap orang dapat menjaga sila dan melepas satwa, maka batin penuh kebajikan akan saling bertaut, turun temurun pada anak cucu, selamanya tenteram dan makmur.


*sumber: http://vajradharmaratna.blogspot.co.id/2014/11/10-pahala-pelepasan-satwa.html

BUKAN DEMI APAPUN


Pada tahun itu, saya terus-menerus melakukan Mahanasmakara, bukan demi melihat Kalacakra, hanya belajar kerendahan hati dari bumi.

Pada bulan itu, saya terus-menerus membaca Sutra Kalacakra, bukan demi memahami makna utama Kalacakra, hanya memutar Sutra tanpa tujuan.

Pada hari itu, tangan saya memegang dupa, mulut memanjatkan mantra, pikiran kosong, apapun tidak dipikirkan.

Pada detik itu, tidak menanti kehadiran Anda, namun Anda datang dengan sendirinya, bahkan saling berhadapan.

Ada foto sebagai bukti:
Anda menatap saya.
Saya menatap Anda.
Hati Anda dan saya sangat lembut.
Saya menyentuh ujung jari Anda yang runcing.

Yang ingin saya beritahu pada Anda semua adalah:
Sutra Vajra mengatakan:
Tiada wujud manusia, tiada wujud diriku, tiada wujud insan, tiada wujud kehidupan.

Saya berkata:
Tiada wujud rupa, tiada wujud Dharma, tiada wujud abhava, tiada wujud sunya, tiada wujud duniawi, tiada wujud non duniawi.

Lebih dalam lagi dikatakan:
Tiada tiada wujud rupa, tiada tiada wujud Dharma, tiada tiada wujud insan, tiada tiada wujud kehidupan, tiada tiada wujud rupa, tiada tiada wujud Dharma, tiada tiada wujud abhava, tiada tiada wujud sunya, tiada tiada wujud duniawi, tiada tiada wujud non duniawi.

Lebih lebih dalam lagi dikatakan:
==Tiada wujud berkah dan pahala,
==tiada wujud Bodhisattva,
==tiada wujud Tathagata.

Saya berkata:
Jelas-jelas ada.
Benar-benar sunya.
Dari sunya melihat abhava.
Dari abhava melihat sunya.
Tidak melekat pada sunya maupun abhava.
Lebih naik satu yana.
Tidak terungkapkan.
(Ini tidak terpikirkan oleh manusia biasa)

Tingkatan alam yang saya capai, sebenarnya juga tingkatan alam, segalanya dianggap sunya, mana ada alam tingkatan?

Empat elemen utama adalah sunya.
Pancaskanda adalah sunya.
Segala yang ada adalah sunya.

Saat ini, dengan sendirinya melepaskan semuanya, dilepaskan dengan:
Satu benang pun tidak menempel.
Satu debu pun tidak mengotori.
Satu wujud pun tidak melekat.

Saya menulis buku ini, bukan demi dipercaya orang lain, bukan demi popularitas dan keuntungan, bukan demi kedudukan, bukan demi pendapat sendiri, bukan demi istri, bukan demi anak, bukan demi hasrat, bukan demi cinta, bukan demi keserakahan, bukan demi reputasi, bukan demi perasaan, bukan demi rupa, bukan demi orang lain dan diri sendiri.
Apapun bukan!

Orang bertanya,“Mengapa menulis?”
Saya menjawab, “Demi menulis, saya menulis!”

**dikutip daribuku ke 248: Keajaiban Alam, Judul Asli "Berhadap-hadapan dengan Kalacakra"
  dicopas dari: http://tbsn.org/indonesia/news.php?cid=23&csid=259&id=5

KUNCI LANGIT


Saya bermeditasi di rumah.
Ada sesosok dewa terbang melewati di atas angkasa di mana saya bermeditasi, Ia melihat di depan tersorot tiga berkas cahaya, ketiga berkas cahaya ini antara lain:
Cahaya Buddha.
Cahaya spiritual.
Cahaya putih.
Dewa ini sangat terkejut, ia datang ke hadapan saya dan bertanya, “Siapa gerangan Yang Arya?”
Saya menjawab, “Saya tidak tahu.”
Dewa bertanya, “Di tengah angkasa muncul cahaya Buddha, cahaya spiritual, cahaya putih, ketiga cahaya ini terpancar, bukankah Yang Arya adalah Buddha, Tathagata, Bhagavan?”
Saya menjawab, “Bukan! Saya bukan Buddha, Tathagata, Bhagavan!”
Dewa bertanya, “Anda pasti Mahadewa?”
Saya menjawab, “Bukan! Saya bukan Mahadewa!”
Dewa bertanya lagi, “Kalau Yang Arya bukan Buddha, bukan Mahadewa, pasti seorang Mahabodhisattva, benarkah?”
Saya menjawab, “Bukan! Saya bukan Bodhisattva!”
Terakhir Dewa bertanya, “Lalu, siapa gerangan diri Anda?”
Saya menjawab, “Saya sungguh makin tidak mengerti siapa saya sebenarnya? Tetapi, saya mampu mengosongkan segalanya, saya hanya seorang manusia yang tidak tercemar oleh duniawi.”
Begitu Dewa mendengarnya. Terbahak-bahak lalu pergi, sambil tertawa, Ia berkata, “Tidak tercemar oleh duniawi, tidak tercemar oleh duniawi, inilah yang memiliki kunci langit, dapat tiba di segala tempat, tak heran, tak heran!”
Dewa terbang ke angkasa dan berkata, “Saya tahu Yang Arya adalah Dharmaraja Liansheng Sheng-yen Lu!”
Saya berkata, “Itu hanya tanda pengenal saja.”
Dewa berkata, “Saya hanya tahu ada seseorang, berkali-kali turun ke dunia untuk melindungi kebenaran sejati, menghancurkan kesesatan, menegakkan Dharma sejati, di tangannya terdapat kunci langit, dapat mencapai segala alam Dharma, saya bernamaskara pada Yang Arya.”
Saya berkata, “Dewa yang termulia, kalau begitu, bernamaskaralah pada angkasa! Anda pasti mengerti maksud saya.”
Dewa berkata, “Benar, benar.”
Sajak: (Angkasa)
Siapa saya?
Saya siapa?
Lupa dengan segalanya dan tidak berbuat apapun
Timur juga
Barat juga
Tangan memegang kunci
Menetap di mana-mana
Anda bertanya padaku
Saya bertanya padamu
Kita tidak saling mengecewakan


*Prakata dari buku ke 260: Kunci Langit
*dicopy dari :http://tbsn.org/indonesia/news.php?cid=23&csid=272&id=6