Jumat, 22 Desember 2017

Merasa Bersalah Kepada Para Penghujat


Pernah suatu kurun waktu saya mengalami hujatan dari pihak luar secara bertubi-tubi yang tak pernah terjadi sebelumnya, gencarnya seperti angin topan, gempa, bencana kebakaran, banjir bandang. Saya dikepung dari berbagai penjuru, serangan demi serangan silih berganti, mereka mengoordinasikan sebuah kekuatan besar lalu melancarkan aksi menyeluruh.
Para penghujat ini menggunakan segenap daya upaya, beberapa koordinator mengerahkan segenap akalnya, menulis artikel di internet ataupun media massa, mempertunjukkan kebolehan mereka dalam urusan hina-menghina.
Tepat pada masa itu, ada seorang sahabat lama saya naik ke gunung demi bertanya kepada saya perihal ‘hujatan’ tersebut.
Ia bertanya, “Mahaguru Lu! Apa kesan Anda terhadap semua hujatan tersebut?”
Saya menjawab, “Tidak berkesan.”
Ia tercengang, lalu berkata, “Perkataan mereka sungguh menakutkan! Tidak tahukah Anda?”
Saya menjawab, “Saya tentu mengetahui banyak orang menghujat saya, meskipun demikian, saya sama sekali tidak terpengaruh!”
Ia berkata, “Saya sudah membaca artikel hujatan tersebut, bahkan saya bukan sebagai orang bersangkutan saja merasa terguncang dan iba kepada Anda, bagaimana mungkin Anda sama sekali tidak terpengaruh?”
Saya dengan tenang berkata, “Jujur kata, hujatan yang membeludak tersebut, satu kata pun tidak pernah saya baca.”
Ia berkata, “Tidak mungkin! Semua orang ingin membacanya, bahkan saya pun penasaran dan membaca satu per satu artikel tersebut, bagaimana mungkin Anda tidak baca?”
Saya berkata, “Saya tidak punya telepon genggam, tidak punya tablet, tidak punya laptop, bahkan saya tidak bisa menjelajahi internet, bagaimana membacanya?”
Ia bertanya, “Bukankah umat bisa mengunduhnya untuk Anda?”
Saya menjawab, “Memang betul ada yang mengunduhnya untuk saya, tetapi saya tidak punya waktu untuk membacanya, langsung dibuang ke tong sampah.”
Ia bertanya, “Apa mungkin tidak ada yang menuturkannya kepada Anda?”
Saya menjawab, “Ada, tetapi begitu ia buka mulut, saya langsung berkata tidak perlu diteruskan, saya tidak bakal mendengarnya.” Lantas balik badan dan melangkah pergi.
Ia bertanya, “Apa mungkin tidak ada yang membicarakannya?”
Saya menjawab, “Mereka tahu saya tidak bakal mendengar maupun membicarakannya, sehingga jarang yang membicarakannya.”
Ia bertanya, “Apa prinsip Anda?”
Saya menjawab:
“Tidak melihat.”
“Tidak mendengar.”
“Tidak berbicara.”
Sahabat yang bersimpati kepada saya ini berjalan lamat-lamat lalu turun gunung!
Terus terang saya katakan kepada para pembaca, saya merasa bersalah kepada para penghujat saya.
Mengapa? Sebab mereka telah memeras otak dengan segenap upaya menghina dan mencaci-maki lewat berbagai artikel, malah satu kata pun tidak pernah saya baca.
Saya merasa bersalah terhadap mereka yang telah membuang waktu, tenaga, dan uang, tetapi justru satu kata pun tidak saya baca.
Mohon maaf sebesar-besarnya! Sungguh tidak enak hati terhadap jerih payah dan semangat kalian.....................