Kamis, 26 Juli 2018

Menjapa Nama Buddha dan Menjapa Mantra


Pada masa awal saya belajar Buddhadharma, ada sebuah kisah yang sangat membuat saya terharu, begini kisahnya:

Seorang nenek berusia lanjut berikrar bahwa ia baru bersedia terlahir di Buddhaloka setelah usai menjapa genap lima ratus miliar kali nama Buddha Amitabha.

Si Nenek setiap hari menjapa nama Buddha dengan menghitung butiran kacang.

Suatu hari Si Nenek jatuh sakit, sedangkan kacang yang sudah dihitung masih kurang dari target, masih jauh dari lima ratus miliar!

Bagaimana baiknya? Si Nenek sangat resah, tak berdaya.
Pada saat itu, ikrar Si Nenek membuat dua sosok Bodhisattva Agung merasa terharu. Kedua Bodhisattva Agung ini menjelma jadi dua orang Bhiksu bertandang ke rumah Si Nenek.

Setelah jelas maksud kedatangannya, kedua Bhiksu memberitahu Si Nenek, “Nek, japalah
Namo san shi liu wan yi, yi shi yi wan, jiu qian wu bai, tong ming tong hao Amituofo!” (Terpujilah 36.000.000.119.500 nama agung yang sama dari Buddha Amitabha)
Begitu Si Nenek menjapa, tercapailah targetnya, malah kelebihan hitungan, aha!

Saat Si Nenek menjapa, “
Namo san shi liu wan yi, yi shi yi wan, jiu qian, wu bai tong ming tong hao Amituofo!” Seluruh kacang tertumpah di lantai, dan Si Nenek pun terlahir di alam suci.
Dua orang Bhiksu itu menjelma kembali dalam sosok Bodhisattva, lalu menghilang.

Kisah ini segera tertanam di dalam benak saya, sejak itu saya pun ikut menjapa, “
Namo san shi liu wan yi, yi shi yi wan, jiu qian, wu bai tong ming tong hao Amituofo!” Setiap sebelum menjapa nama Buddha Amitabha, saya pasti membaca kalimat yang satu ini; begitu pula setelah usai menjapa nama Buddha Amitabha dan sebelum parinimana, saya juga membaca ulang kalimat ini; bahkan setiap teringat, saya suka membacakannya pula.

Kalimat ini banyak memberi yukta, sehingga saya juga mengajarkan para siswa untuk membacanya. Kini, banyak siswa yang ikut membacakan kalimat ini.

Ketahuilah, menjapa nama Buddha, jangan malas-malasan atau asal-asalan, jangan pula hanya menjapa satu kali saja, japalah sebanyak-banyaknya.  Kalimat dijapa untuk keperluan darurat kelak, maka itu jangan sekali-kali malas!

Manfaat apakah yang dapat kita peroleh dari menjapa nama Buddha?
Aliran Sukhavati sangat umum bagi semua umat, bagi yang berbakat tinggi, yang berbakat menengah, yang berbakat rendah, yang pernah melakukan Lima Perbuatan Durhaka dan Sepuluh Kejahatan, bahkan yang fenomena neraka sudah muncul pun, japalah dengan penuh konsentrasi dan tulus, segera akan mencapai pantai seberang.

Guru Besar Ou-yi berkata, “Para Buddha mengasihani makhluk luas yang tersesat, selalu menjelma sesuai kondisi, kendati kembali pada sumber nan tiada dua, tetap banyak membuka jalan kemudahan. Dari sekian banyak kemudahan yang dapat langsung memperoleh kesempurnaan, tak ada yang lebih mudah daripada menjapa nama Buddha untuk terlahir di alam suci.”

Hendaknya terhadap tubuh bardo juga diberi bimbingan sebagai berikut:
- Sukhavati ada di hadapan Anda.
- Japalah nama Buddha dengan sepenuh hati.
- Berpikirlah diri sendiri akan terlahir di Sukhavati.

Demikianlah ‘petunjuk penting jelang wafat’.

Ketahuilah, mantra adalah bahasa rahasia dari Buddha dan Bodhisattva, disebut pula ‘dharani’. Semua mantra merupakan bahasa Tathagata yang paling luar biasa, dari segala rahasia Tathagata inilah akan meningkatkan kesadaran diri menjadi suci.

Itulah sebabnya Tsongkhapa berkata, “Menjapa nama Buddha adalah menyebut nama Buddha, menjapa mantra adalah berkomunikasi dengan hati Buddha.”

Penjapaan mantra yang hingga mencapai keyogaan akan menyingkirkan rintangan, meningkatkan kebijaksanaan, menjadi suci, memiliki kekuatan dewa, atas ketakjuban inilah maka dikatakan ‘rahasia’.

Antara menjapa nama Buddha dan menjapa mantra, menurut saya pribadi, dua-duanya bagus, tidak ada perbedaan dalam hal keunggulan.

Dulu, Guru Besar Lianchi berpendapat, “Bagi yang khusus menekuni penjapaan nama Buddha Amitabha, juga akan memperoleh semua pahala yang unggul. Menjapa nama Buddha dengan penuh konsentrasi, satu nama Buddha saja mampu mengikis dosa samsara selama 80 koti kalpa. Nama Buddha yang dijapa dengan konsentrasi, sama dengan Mantra Mahadewa, Mantra Mahavidya, Mantra Anuttara, dan Mantra Anupama. Dengan sepuluh penjapaan akan memperoleh kelahiran di alam suci tanpa kembali.

*Dikatakan sebagai Mantra Mahadewa karena berkekuatan sangat dahsyat; *dikatakan sebagai Mantra Mahavidya karena akan melenyapkan avidya dan menemukan jati diri; *dikatakan Mantra Anuttara karena akan terlahir di Sukhavatiloka dan mencapai kebuddhaan; *dikatakan Mantra Anupama karena akan memperoleh anupada yang kelak bertekad kembali ke Dunia Saha untuk misi penyelamatan.

Jadi, menurut Guru Besar Lianchi, menjapa nama Buddha sama halnya dengan menjapa mantra, sebab menjapa nama Buddha sama dengan menjapa Mantra Mahadewa, Mantra Mahavidya, Mantra Anuttara, dan Mantra Anupama.
Saya sendiri juga sependapat atas upaya yang terpuji ini!

Bagi saya yang senantiasa menekuni mantra rahasia, mantra adalah:
1. Hati Tathagata.
2. Mata Tathagata.
3. Segenap Dharma yang tak tercemar.
4. Manifestasi gaib.
5. Tiada awal dan tiada akhir.
6. Padmagarbha.
7. Kebenaran Vajra.
8. Satya-prajna.
9. Keheningan absolut.
10. Jasmani segera mencapai alam suci.
11. Tiada beda dan tidak wujud.
12. Dharma abadi.
13. Pencerahan asal.
14. Tiada noda yang dapat menghalangi.
15. Mencapai kebuddhaan.

Menurut saya, mantra itu garbha yang tiada batas. Dari 15 butir pengertian saya akan mantra, ini saja sudah sulit terbayangkan. Kekuatannya menyelimuti seluruh Alam Dharma tanpa kecuali, dan jasa gunanya tanpa batas, abadi, sukha, suci, dan sunya.

Pengertian Ajaran Tantra atas dharani adalah: pintu paramita mahamitri di sepuluh penjuru alam sebanyak debu yang bagaikan padmagarbha, semua Nirmanakaya yang tak terhingga di  Triyana (Sravakayana, Pratyekayana, dan Bodhisattvayana) dan enam alam gati, ibarat akar, ranting, dan daun, saling memantulkan cahaya, penuh dengan cakra-paripurna yang rahasia, dan tersebutlah mandala dari dharani.

Bagi saya, semua mantra rahasia yang suci dan mulia pasti memiliki silsilah, dan untuk memperolehnya mesti lewat abhiseka agar terjalin getaran suara batin dengan Yang Arya, inilah yang disebut keyogaan yang akan menghasilkan hubungan kontak batin.

Suara, memiliki kekuatan mahatinggi, menjapa mantra akan menghasilkan kekuatan yang berasal dari frekuensi getaran. Oleh karena menjapa mantra dapat menghasilkan kekautan mahatinggi, para Gurucarya pada zaman silam pun menentukan sebuah peraturan pewarisan untuk melindungi kemurnian silsilah agar tidak disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Itulah salah satu alasan mengapa mantra menjadi rahasia karena tidak sembarangan diwariskan.

Jika kita membimbing tubuh bardo menyebut nama Buddha, sebaiknya kita minta dia  menyebut nama Buddha yang sering dia japa agar ia dapat disadarkan.

Begitu pula, kalau kita membimbing tubuh bardo menjapa mantra, sebaiknya kita minta dia menjapa mantra yang sering dia japa guna menyadarkan silsilah mantranya. Begitu mantra itu dijapa, terjadi yukta, lalu manfaatkan mantra ini untuk meningkat dan berpadu dengan cahaya suci.


-=o0o=-

Namo Amituofo.
Om Amitewa Xie.



Sabtu, 21 Juli 2018

Nasehat Yang Menyelamatkan Tujuh Nyawa


Semua manusia punya kemelekatan hati.
Sutra Mahaprajna, Sutra Intan, dan Sutra Hati mengajari kita menghilangkan kemelekatan hati.

Pengertian sederhana kalimat ‘menghilangkan kemelekatan hati’ adalah ‘merelakan segalanya’.

Sutra Intan menyebutkan, “Segala Dharma Samskrta, bagaikan mimpi dan gelembung, bagaikan embun dan gelombang", demikianlah hendaknya berpandangan.

Juga disebutkan, “Tinggalkan semua fenomena maka tersebutlah Buddha.”
Sutra Hati menyebutkan; Tak ada mata, telinga, hidung, lidah, badan, dan obyek pikiran; taka da bentuk, suara, bau, rasa, dan obyek yang dapat disentuh.”

Silahkan bandingkan dengan tiga kalimat sederhana yang pernah kusebut:
Segala sesuatu akan berlalu
Setiap orang akan lenyap
Semua adalah hampa, semua akan tiada

Saya sering mengingatkan para umat, “Relakanlah segalanya! Hilangkanlah kemelekatan hati!”
Suatu hari, angkasa memancarkan cahaya aneka warna nan kemilau. Yang datang ternyata Bodhisattva Maitreya yang memanggul buntelan.

Bodhisattva Maitreya yang bermarga Maitri itu kini menetap di halaman dalam Surga Tusita. Merupakan Bodhisattva yang akan terlahir sekali lagi di Dunia Saha.

Ia akan terlahir di Dunia Saha pada saat kalpa kecil kesepuluh di mana usia manusia akan mencapai delapan puluh ribu tahun, sebagai Buddha kelima dari kalpa budi setelah Buddha Sakyamuni.

Pada tiga kali pergelaran Persamuan Dharma Agung di bawah Pohon Nagapuspa kelak, Ia akan menyelamatkan segenap makhluk hidup di alam manusia dan alam dewa.

Bodhisattva Maitreya menetap di Tanah Suci Maitreya, tepatnya di Alam Tusita, surga keempat dari enam surga di Karmadhatu.

Di alam ini terdapat halaman luar dan halaman dalam. Halaman dalam dihuni oleh Bodhisattva Maitreya, maka dinamakan  Tanah Suci Maitreya.

Ketika Bodhisattva Maitreya menampakkan diri di angkasa, dua sosok Bodhisattva menyertai di sisi. Yang sebelah kiri adalah Bodhisattva Fahualin, dan yang sebelah kanan adalah Bodhisattva Damiaoxiang.
Bodhisattva Maitreya berkata padaku, “Ada hadiah untukmu.”

Saya tertegun, “Hadiah apa?”

Bodhisattva membukakan buntelannya, cahaya keemasan memancar di udara, menampakkan ribuan hawa manggala. Saya mendongakkan kepala, tampak mahkota yang memancarkan lima warna, mutiara moni yang tak terhitung jumlahnya, selendang yang terbuat
dari untaian puspa, jubah surgawi berlapis tiga, gelang batu giok, padmasana berkelopak delapan dalam tujuh warna, dan berbagai batu pertama lainnya.
Bodhisattva berkata padaku, “Ini semua milikmu.”

Saya bingung dan tidak mengerti, “Mengapa jadi milikku?”

“Anda telah menyelamatkan tujuh nyawa manusia.”

“Saya sendiri tidak tahu,” paparku jujur.

“Beberapa hari yang lalu, seorang wanita bernama Jiang Min berkunjung ke tempatmu. Anda sempat menasihatinya, dan ia menurut. Maka itu, tujuh nyawa terselamatkan.”

Saya sendiri merasa heran!

Rupanya kejadiannya begini. Ibu mertua Jiang Min adalah seorang wanita tua yang sangat kejam dan sadis. Sejak Jiang Min menikah dan tinggal bersamanya, selalu ditindas.

Jiang Min sungguh tidak tahan lagi. Hatinya penuh dendam. Disiapkannyalah arsenic, racun yang mematikan. Ia bermaksud meracuni ibu mertua, suami, empat orang anaknya, dan dirinya sendiri saat makan malam bersama. Ini sebuah tragedi keluarga yang amat besar, tragedi manusia.
Jiang Min sempat mendengar dari orang bahwa saya mahir meramal, maka ia datang menemuiku.

Ia tidak mengatakan ingin meracuni seluruh keluarganya. Ia hanya  bertanya kapan bisa terlepas dari penindasan sang mertua.

"Belakangan ini Anda ada urusan salah karma. Bila terlanjur salah karma, akan terjerumus dan taka da alasan terselamatkan lagi. Terlebih-lebih tak dapat lepas dari karma!” paparku.

Jiang Min merasa takut mendengarkan hal ini.

"Ibu mertuamu sudah lanjut usia, semua ini akan berlalu dan lenyap. Bersabarlah, perlakukanlah dirinya dengan baik.”

Saya lanjut berkata, “Singkirkanlah bungkusan yang ada padamu itu.”

Jiang Min semakin kaget karena ia membawa bungkusan yang berisi racun arsenic.

Sesampai di rumah, Jiang Min benar-benar menuruti perkataanku membuang arsenic itu. Ia juga memperlakukan ibu mertuanya dengan baik. Kondisi keluarganya menjadi lebih baik. Dua tahun kemudian, ibu mertua Jiang Min pun meninggal dunia.
Segala sesuatu akan berlalu
Setiap orang akan lenyap
Semua adalah hampa, semua akan tiada

Tiga kalimat ini sungguh adalah kebenaran.


*dikutip dari buku ke-153 "Biarkan SinarMentari Menerangi", kisah no.4, hal 12~14

LAUT DI KALA SENJA (Jangan Dekati Perzinahan)


Semua orang suka melihat laut. Terutama laut di kala matahari terbenam, selalu merupakan pemandangan terindah di dunia.
Sebuah bola api besar yang merah menyala, menyentuh garis permukaan laut, perlahan tenggelam ke dalam air laut. Membuat langit dan laut turut memerah.
Sinar yang tersisa memerahkan seluruh cakrawala. Tapi, hanya dalam sekejap, semua akan menjadi gelap!
Saya duduk di tepi pantai di kala senja menyaksikan pemandangan ini. Dalam keadaan samar-samar, hatiku tergerak. Dari titik pertemuan matahari dan laut, saya memasuki alam baka. Di alam baka, saya bertemu dengan seorang konglomerat.
Saya sedang berjalan-jalan.
Di depanku ada seorang pak tua juga sedang berjalan-jalan. Pak tua ini sendirian. Tiba-tiba ia menoleh, wajahnya seperti pernah kukenal.
“Oh, Anda ini…,” saya berseru.
“Benar, saya.”
Saya merasa sangat heran, “Mengapa Anda bisa berada di sini?”
“Saya…”  Pak tua merasa malu.
Saya bertanya demikian tentu ada alasannya. Karena pak tua ini merupakan konglomerat papan atas di dunia, bukan orang kaya biasa. Jaringan usahanya sungguh luas. Yang patut disyukuri adalah ia seorang kaya raya yang senang beramal. Hatinya saleh, suka menolong orang lain.
Ia menjadi donatur bagi banyak lembaga sosial dan kegiatan sosial. Ia selalu menyumbangkan dana maupun tenaga, menjadi orang baik nomor satu di negerinya.
Konglomerat ini memang seorang dermawan besar. Ia juga menyumbang tanah, melakukan kegiatan sosial, memperbaiki jalan dan jembatan, membantu korban bencana alam, mencetak kitab suci, membuat pratima Buddha. Hartawan ini juga seorang umat Buddha yang taat beragama. Kalau ada biarawan datang memohon dana pembangunan kuil atau vihara, ia pasti dengan senang hati merelakan dana.
Dermawan konglomerat ini bisa mengupayakan kebaikan bagi umat luas tentu menghasilkan buah kebajikan. Orang seperti ini, pasti akan terlahir di alam dewa yang indah dan selalu berkesempatan mendengarkan Buddhadharma.
Tapi, sekarang ia berada di alam baka dan terjerumus di tiga alam samsara. Tentu hal ini membuat saya merasa heran.
Konglomerat ini berkata padaku, “Berkah dan umurku sampai hari ini sudah terkikis habis.”
“Mana mungkin?” saya tidak percaya, “Apa kesalahanmu?”
“Kesalahan yang paling mudah dibuat oleh orang kaya,” jawabnya.
“Sering berzinah?” saya coba menebak.
“Benar,” jawab konglomerat.
Konglomerat ini menjelaskan padaku:
Setelah seseorang mencapai sukses dan popular, dengan kekayaan yang berlimpah itu akan menjadi pusat perhatian banyak orang. Banyak wanita akan mengaguminya, lalu jatuh hati dan mendekatinya. Hal inilah yang menyebabkan seorang konglomerat beristri banyak. Ia memperistri sekretarisnya, juga memperistri wanita dari kalangan baik-baik, bahkan memperistri teman sekolah putrinya…
Saya sungguh tak bisa bicara apa-apa lagi.

Saya teringat sebuah cerita, begini kisahnya:
Seorang pejabat jaman Dinasti Ming bernama Zhang Ning yang sudah berusia senja masih belum punya anak dan sering sakit-sakitan.
Zhang Ning berdoa di kuil rumahnya. Batinnya bertanya, dosa apa kiranya yang telah ia perbuat sehingga tidak punya keturunan dan banyak penyakit?
Seorang istri mudanya berkata, kalau tidak menelantarkan mereka sudah merupakan suatu kebajikan.
Zhang Ning sadar seketika.

Lalu semua istri muda dan pelayan yang tidak ingin tinggal bersamanya, dibebaskan untuk menikah lagi.

Setahun kemudian, Zhang Ning memperoleh seorang putra, badannya juga semakin sehat.

‘Sering berzinah’ memang menakutkan. Hendaknya mawas diri.

Ketahuilah, para makhluk suci di alam sana selalu mengawasi tingkah laku kita dengan ketat.

Yang harusnya bisa mencapai kebahagiaan surgawi, ini malah menderita di neraka. Begitu salah langkah akan terjerumus.

Janganlah melakukan hal yang tidak senonoh; janganlah melakukan hal yang tak bermoral; janganlah merendahkan wanita penghibur dan pelayan; janganlah merasa pantas didekati hal cabul; janganlah menganggap poligami itu bak makanan sehari-hari; janganlah melupakan tatakrama antara tua dan muda.

Di alam baka bertemu dengan orang kaya raya yang terkenal ini sungguh merupakan sebuah peringatan! Jangan memanjakan diri dengan nafsu birahi yang berlebihan, hal yang ekstrim akan mendatangkan bencana.

Sangat disayangkan, hanya karena perbuatan ini terjerumus di alam neraka!


*dikutip dari buku ke-153 "Biarkan Sinar Mentari Menerangi", kisah ke-10, hal 30~32