Sabtu, 21 Juli 2018

Nasehat Yang Menyelamatkan Tujuh Nyawa


Semua manusia punya kemelekatan hati.
Sutra Mahaprajna, Sutra Intan, dan Sutra Hati mengajari kita menghilangkan kemelekatan hati.

Pengertian sederhana kalimat ‘menghilangkan kemelekatan hati’ adalah ‘merelakan segalanya’.

Sutra Intan menyebutkan, “Segala Dharma Samskrta, bagaikan mimpi dan gelembung, bagaikan embun dan gelombang", demikianlah hendaknya berpandangan.

Juga disebutkan, “Tinggalkan semua fenomena maka tersebutlah Buddha.”
Sutra Hati menyebutkan; Tak ada mata, telinga, hidung, lidah, badan, dan obyek pikiran; taka da bentuk, suara, bau, rasa, dan obyek yang dapat disentuh.”

Silahkan bandingkan dengan tiga kalimat sederhana yang pernah kusebut:
Segala sesuatu akan berlalu
Setiap orang akan lenyap
Semua adalah hampa, semua akan tiada

Saya sering mengingatkan para umat, “Relakanlah segalanya! Hilangkanlah kemelekatan hati!”
Suatu hari, angkasa memancarkan cahaya aneka warna nan kemilau. Yang datang ternyata Bodhisattva Maitreya yang memanggul buntelan.

Bodhisattva Maitreya yang bermarga Maitri itu kini menetap di halaman dalam Surga Tusita. Merupakan Bodhisattva yang akan terlahir sekali lagi di Dunia Saha.

Ia akan terlahir di Dunia Saha pada saat kalpa kecil kesepuluh di mana usia manusia akan mencapai delapan puluh ribu tahun, sebagai Buddha kelima dari kalpa budi setelah Buddha Sakyamuni.

Pada tiga kali pergelaran Persamuan Dharma Agung di bawah Pohon Nagapuspa kelak, Ia akan menyelamatkan segenap makhluk hidup di alam manusia dan alam dewa.

Bodhisattva Maitreya menetap di Tanah Suci Maitreya, tepatnya di Alam Tusita, surga keempat dari enam surga di Karmadhatu.

Di alam ini terdapat halaman luar dan halaman dalam. Halaman dalam dihuni oleh Bodhisattva Maitreya, maka dinamakan  Tanah Suci Maitreya.

Ketika Bodhisattva Maitreya menampakkan diri di angkasa, dua sosok Bodhisattva menyertai di sisi. Yang sebelah kiri adalah Bodhisattva Fahualin, dan yang sebelah kanan adalah Bodhisattva Damiaoxiang.
Bodhisattva Maitreya berkata padaku, “Ada hadiah untukmu.”

Saya tertegun, “Hadiah apa?”

Bodhisattva membukakan buntelannya, cahaya keemasan memancar di udara, menampakkan ribuan hawa manggala. Saya mendongakkan kepala, tampak mahkota yang memancarkan lima warna, mutiara moni yang tak terhitung jumlahnya, selendang yang terbuat
dari untaian puspa, jubah surgawi berlapis tiga, gelang batu giok, padmasana berkelopak delapan dalam tujuh warna, dan berbagai batu pertama lainnya.
Bodhisattva berkata padaku, “Ini semua milikmu.”

Saya bingung dan tidak mengerti, “Mengapa jadi milikku?”

“Anda telah menyelamatkan tujuh nyawa manusia.”

“Saya sendiri tidak tahu,” paparku jujur.

“Beberapa hari yang lalu, seorang wanita bernama Jiang Min berkunjung ke tempatmu. Anda sempat menasihatinya, dan ia menurut. Maka itu, tujuh nyawa terselamatkan.”

Saya sendiri merasa heran!

Rupanya kejadiannya begini. Ibu mertua Jiang Min adalah seorang wanita tua yang sangat kejam dan sadis. Sejak Jiang Min menikah dan tinggal bersamanya, selalu ditindas.

Jiang Min sungguh tidak tahan lagi. Hatinya penuh dendam. Disiapkannyalah arsenic, racun yang mematikan. Ia bermaksud meracuni ibu mertua, suami, empat orang anaknya, dan dirinya sendiri saat makan malam bersama. Ini sebuah tragedi keluarga yang amat besar, tragedi manusia.
Jiang Min sempat mendengar dari orang bahwa saya mahir meramal, maka ia datang menemuiku.

Ia tidak mengatakan ingin meracuni seluruh keluarganya. Ia hanya  bertanya kapan bisa terlepas dari penindasan sang mertua.

"Belakangan ini Anda ada urusan salah karma. Bila terlanjur salah karma, akan terjerumus dan taka da alasan terselamatkan lagi. Terlebih-lebih tak dapat lepas dari karma!” paparku.

Jiang Min merasa takut mendengarkan hal ini.

"Ibu mertuamu sudah lanjut usia, semua ini akan berlalu dan lenyap. Bersabarlah, perlakukanlah dirinya dengan baik.”

Saya lanjut berkata, “Singkirkanlah bungkusan yang ada padamu itu.”

Jiang Min semakin kaget karena ia membawa bungkusan yang berisi racun arsenic.

Sesampai di rumah, Jiang Min benar-benar menuruti perkataanku membuang arsenic itu. Ia juga memperlakukan ibu mertuanya dengan baik. Kondisi keluarganya menjadi lebih baik. Dua tahun kemudian, ibu mertua Jiang Min pun meninggal dunia.
Segala sesuatu akan berlalu
Setiap orang akan lenyap
Semua adalah hampa, semua akan tiada

Tiga kalimat ini sungguh adalah kebenaran.


*dikutip dari buku ke-153 "Biarkan SinarMentari Menerangi", kisah no.4, hal 12~14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar