Aku selalu menyukai gunung gunung dan telah mendaki
banyak diantaranya. Telah banyak kuil di
gunung yang kukunjungi. Diantaranya ada
satu yang sangat istimewa yaitu yang dihuni oleh seorang bhiksu yang latihan
batinnya telah sangat tinggi.
Ketika aku
mengunjunginya, kuil itu sangatlah sepi. Hanya suara suara burung yang terdengar.
"Pak
Lu, saya membutuhkan pertolongan anda," kata bhiksu tersebut.
"Apa
yang saya dapat bantu?"
"Belum
lama ini ada seorang yang tidak waras datang kesini untuk menetap. Dulu ia pernah menjadi penyantun (pemberi)
dana bagi kuil ini, tapi tiba tiba ia menjadi terganggu kewarasannya. Ia telah mengunjungi banyak dokter dan rumah
sakit, tapi sama sekali tidak menolong. Keluarganya mengirimnya kemari untuk menetap dengan harapan sang Buddha
akan menyembuhkannya, tapi sampai sekarang belum ada tanda tanda kemajuan dalam
dirinya. Ia berteriak teriak setiap
malam. Dapatkah anda menolongnya?"
"Pria
atau wanita?"
"Pria."
"Berapa
umurnya? Siapa namanya?"
"Ia
berusia kira kira 40 tahun. Namanya
adalah Kuo Te-hui."
Tempat
penginapan berada dibelakang kuil tersebut, dikelilingi oleh taman bunga
bunga. Seorang bhiksu muda sedang
menyapu daun daun yang berguguran.
Pasien
tersebut dikunci dikamar terakhir dari tempat penginapan tersebut. Kami melihatnya dari balik jendela dan
mendapatkannya sedang berdiam diri tak bergeming. Ia tidak menoleh sekilaspun kepada kami. Sarapan nya terletak di meja, tidak
disentuhnya. Setiap hari ada orang yang
datang merawatnya dan memberinya makan. Ia tidak kelihatan lemah, tapi ia sama sekali tidak bergeming
sedikitpun.
"Ia
berteriak setiap malam sepertinya ia sedang marah dan berkelahi dengan
seseorang."
Aku
mengamati aura (sinar yang terpancar dari seseorang) diatas kepalanya dan
mendapatkan asap hitam disana. Aku
menggunakan mata batinku untuk melihat dengan lebih seksama. "Saya melihat dua ular berwarna emas
sedang melingkar lingkar," kataku.
"Oh,
benar sekali. Benar sekali. Setiap kali ia berteriak "ular",
"ular", "ular itu datang lagi", "ular dimana
mana", "tolong". Pada mulanya kami memeriksa seisi kamarnya
untuk barangkali menemukan ular ular tersebut, tapi tidak pernah
ditemukan. Karena itu kami tahu bahwa ia
tidak waras. Kami tidak menghiraukan
teriakan teriakannya sejak saat itu."
"Apakah
kalian memberikannya obat obatan?"
"Ya,
dokter telah memberikan resep obat untuknya."
Aku kemudian
kembali ke ruang kuil, menyalakan hio, dan bersujud dihadapan arca Buddha. Aku bermeditasi selama 5 menit, kemudian
menoleh kepada sang bhiksu serta berkata, "Dapatkah anda mengundang
keluarganya kesini?"
"Ya,
keluarganya datang kesini setiap minggu."
Sewaktu
kedua kalinya aku mengunjungi gunung itu, sang bhiksu mengenalkanku dengan
Nyonya Kuo. Ia masih muda dan menarik;
dulunya seorang guru sekolah. Mereka
dikarunia dengan dua anak; satu putra dan satu putri. Mereka menetap di sebuah rumah yang nyaman di
kaki gunung. Pak Kuo mengoperasikan dua
buah pabrik.
"Apakah
kalian pernah membunuh ular ular di rumah kalian?" aku bertanya kepadanya.
"Tidak."
"Lalu
siapa yang membunuh ular ular itu?"
"Pembantu
rumah kami."
"Kapan?"
"Kira
kira beberapa hari sebelum ia jatuh sakit."
"Kalau
begitu itulah sebabnya."
"Pembantu
itu tidak ada hubungannya dengan suami saya. Lagipula, sekarang ini muncul banyak restauran restauran disana sini
yang menyediakan masakan ular. Banyak
orang menyantap ular. Hati suami saya
sangatlah baik; ia percaya dengan ajaran
sang Buddha, dan ia telah banyak berdana kepada kuil. Mengapa sang Buddha tidak
melindunginya?"
"Harap
anda jangan marah. Pak Kuo menciptakan
situasi ini sewaktu ia berusia 33 tahun."
Ia terdiam
sejenak, kemudian ia menjawab,"Pak Lu, usianya sekarang 43 tahun; jadi
berarti kejadiannya 10 tahun yang lalu. Bagaimana anda bisa tahu?"
"Buddha
memberitahuku."
Ceritanya
adalah sebagai berikut:
10 tahun
yang lalu, Kuo Te-hui bermain asmara dengan seorang wanita lain. Rahasia ini akhirnya diketahui oleh nyonya
Kuo dan membuatnya sangat marah. Wanita
kedua tersebut menjadi hamil. Berada
didalam posisi yang sulit ini, Pak Kuo akhirnya memberi wanita kedua itu
sejumlah uang dan mengusirnya. Tetapi
wanita itu sangat mencintai Pak Kuo dan tidak mau mengambil uangnya. Ia meloncat kedalam lautan, membunuh diri.
Tidak lama
setelah wanita itu membunuh diri, dua ular muncul di rumah Pak Kuo. Ular-ular itu sangatlah gesit; mereka
menghilang setiap kali didekati manusia. Tetapi enam bulan yang lalu seorang pembantu rumah Pak Kuo membunuh ular
ular itu. Sejak saat itu Pak Kuo menjadi
hilang ingatan.
Nyonya Kuo
terdiam mendengar hal ini. Sang bhiksu
melafal nama Buddha.
"Pak
Lu, apakah ada jalan keluarnya?"
"Pada
jaman sekarang manusia tidak lagi percaya tentang reinkarnasi. Ada yang percaya adanya surga dan
neraka. Tapi yang lainnya berkata bahwa
surga dan neraka hanya ada di benak pikiran atau dihati -- tidak betul betul
ada. Orang mau percaya atau tidak, hukum
karma tetap berjalan tanpa pilih kasih. Hanya suami anda yang dapat menyelesaikan karma ini. Ketika ia telah melunasi karma buruknya, ia
akan sadar kembali. Resep obat tidak
akan menolong sekarang ini," kataku.
"Kalau
kita memohon kepada sang Buddha, apakah akan membantu?" Nyonya Kuo bertanya dengan penuh kekuatiran.
"Sifat Buddha
Dharma adalah kosong dan hening. Tidak
ada Dharma yang dapat muncul di waktu yang tidak sesuai. Memaksakan sesuatu untuk terjadi di waktu
yang tidak sesuai tidak akan berguna; karena itu, doa doa saya sekarang ini
tidak akan menolong. Ikatan harus dibuka
oleh orang yang mengikat. Janganlah
kuatir. Biarkanlah segala sesuatu
berjalan secara alamiah."
Aku
memandang kepada arca sang Buddha.
Aku merasa sedih untuk pasangan muda ini
meskipun aku tahu bahwa masalah mereka akan terpecahkan pada suatu saat.
*sumber: e-book Padmakumara-1, kisah ke-31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar