(Rintangan
dalam pembabaran dharma Buddha kepada para insan)
Ceramah Dharma Maha Acarya Lian Shen Lu Sheng Yen tanggal 22 November 1986 di Redmond, Washington
dikutip dari buku
Padmakumara 15, artikel ke-7
Upaya menolong para insan untuk
mencapai Penerangan merupakan sebuah tugas yang sulit dan penuh dengan
rintangan. Orang kaya sulit percaya tentang
pentingnya pelatihan rohani karena bagi mereka, uang itu sangat berkuasa. Orang orang yang berstatus sosial tinggi biasanya
juga tidak mudah percaya karena mereka menganggap diri mereka sendiri jauh
tinggi dibandingkan segala hal lainnya. Orang orang
yang sangat sehat juga sulit percaya karena mereka merasa bahwa kepalan
tinju mereka cukup kuat untuk bahkan mengalahkan para dewa.
Adakalanya pula, semakin berpengetahuan seseorang, semakin sulit baginya untuk mempunyai keyakinan rohani.
Ia mungkin merasa bahwa ia sudah begitu pintar sehingga ia enggan untuk menaruh
kepercayaan kepada orang lain.
Orang orang
yang panjang umur juga adakalanya sulit menerima keyakinan rohani karena
mereka merasa bahwa hidup mereka selama ini sudah berjalan lancar tanpa perlu
keyakinan rohani.
Sakyamuni Buddha berkata bahwa para dewa di alam alam surga tidak menaruh keyakinan
pada keberadaan para Buddha. Karena para dewa ini menikmati pahala surgawi yang
sangat besar, mereka tidak merasa perlu untuk percaya kepada para Buddha.
Sakyamuni Buddha mengingatkan semua siswa nya untuk tidak mengejar
keberuntungan dan untuk tidak bergulat untuk mau terlahir
di alam alam dewa (surga). Ini karena kelahiran di alam alam surga
(dewa) bisa kemudian mengakibatkan kelahiran di alam-alam neraka. Setelah
seseorang menjadi dewa yang menikmati keberuntungan setiap hari, ia bisa saja
akhirnya masuk ke dalam neraka sewaktu pahala nya habis. Jadi, orang orang yang menikmati keberuntungan juga tidak mudah
untuk mempunyai keyakinan rohani.
Banyak orang
yang berstatus sosial tinggi tidak beranjali (merangkapkan kedua tangan)
sewaktu datang mengunjungi saya. Mereka menganggap diri mereka lebih tinggi.
Mengapa mereka harus merangkapkan kedua tangan untuk menghormati seorang biksu
pendek?
Banyak orang
kaya yang datang mengunjungi saya juga tidak merangkapkan kedua tangan
untuk memberi salam kepada saya. Di dalam benak, mereka berkata, "Saya
bisa mengubur mu dengan uang saya."
Orang orang
yang berusia lebih tua dari saya seringkali juga tidak merangkapkan
kedua tangan untuk menyalami saya sewaktu mereka datang kesini. Mereka
berpikir, "Saya sudah lebih banyak makan asam garam dibandingkan
kau."
Orang orang
sehat dengan tubuh fisik yang kuat juga tidak beranjali sewaktu
menyalami saya karena mereka merasa bahwa dengan sedikit dorongan saja saya
sudah bisa dibuat terjungkal.
Jadi, tidaklah mudah membuat orang
mempunyai keyakinan rohani. Juga pada umumnya sangat sulit bagi putra putri
untuk meyakinkan orang tua mereka supaya berkeyakinan rohani.
Banyak orang-tua merasa bahwa karena
mereka adalah pihak orang tua, maka mereka tidak boleh mendengarkan omongan
anak anak mereka, meskipun apa yang dikatakan anak anak mereka sangat
meyakinkan.
Semua ini adalah rintangan rintangan
dalam pembabaran dharma Buddha kepada para insan. Jadi, setelah anda menyadari
bahwa status tinggi, uang, dan kekuasaan bisa menjadi perintang dalam
menjalankan kehidupan rohani, anda seharusnya tidak lagi melekat pada ide ide
yang bersifat mementingkan diri sendiri. Sesungguhnya, tak
ada pemuasan keinginan diri yang dapat disejajarkan dengan kebenaran dharma Buddha.
Saat ini, hati saya dipenuhi dengan
emosi besar. Topik yang saya akan bicarakan pada malam ini adalah topik yang
telah saya berusaha hindari selama 5 tahun terakhir semenjak tiba nya saya di
Amerika Serikat. Topik nya adalah "Berbagai Aspek Agama". Mengapa
saya menghindarkan diri dari diskusi tentang topik ini? Saya kuatir bahwa
diskusi diskusi seperti ini akan mengakibatkan kritik terhadap agama-agama
lain. Namun, sebuah kejadian kecil yang terjadi belum lama ini di rumah tangga
saya membuat saya berkeyakinan bahwa membahas sedikit tentang topik ini adalah
layak adanya.
Inilah yang terjadi. Seorang guru
"les" kami bayar untuk datang ke rumah kami untuk memberi bimbingan
pelajaran tambahan bagi kedua anak kami. Pada mulanya, segala sesuatu berjalan
lancar dan tenang. Anak anak kami merasa senang, dan si guru "les"
pun senang terhadap anak anak kami. Dibawah bimbingan yang baik dari si guru
'les', anak anak kami membuat kemajuan besar dalam pelajaran pelajaran sekolah
mereka.
Pada suatu hari, si guru les
menelpon kami untuk memberitahu bahwa ia tidak lagi dapat datang ke rumah kami
untuk mengajar. Sewaktu kami bertanya apa alasan nya, ia memberitahu saya bahwa
alasannya berkaitan dengan masalah agama. Ternyata, guru les itu adalah seorang
Kristen. Setelah menyadari bahwa saya adalah seorang biksu Buddhis, ia berkata
bahwa ia telah diganggu oleh perasaan berdosa karena [ia merasa] bahwa ia tidak
boleh melayani orang kafir (orang berdosa). Kejadian kecil inilah yang membuat
saya ingin membahas topik ini pada malam hari ini.
Bukanlah niat saya untuk mengeritik agama-agama
lain karena kritik semacam itu sangat mudah menimbulkan konflik. Islam,
Katolik, Kristen, Yahudi, ini semua sering disebut sebagai agama-agama
monotheisme. Sedangkan, Hindu di India dan Taoisme di Cina sering disebut agama
agama politheisme. Banyak orang juga menganggap bahwa Budhisme adalah sebuah
agama politheisme. Sesungguhnya, semenjak semula, Sakyamuni Buddha hanya
berbicara tentang "manusia" (insan). Beliau tidak berbicara tentang
pemujaan "Buddha". Budhisme bukanlah agama politheisme. Budhisme
mengajarkan manusia untuk menjadi Buddha dengan menyadari Kebenaran dan
mencapai Penerangan Sempurna.
Meskipun topik pada hari ini diberi
judul "Berbagai Aspek Agama", saya sesungguhnya adalah seorang yang
menolak semua agama. Anda mungkin menganggap pernyataan saya ini aneh sekali.
Bagaimana bisa seorang Guru rohani menolak agama-agama? Berbicara secara lebih
mendalam, sesungguhnya tak ada agama di dunia ini. Agama adalah kelompok yang
diciptakan manusia. Kebenaran Alam Semesta sudah ada semenjak dulu. Sebelum
kelahiran Yesus Kristus, tak ada agama Kristen. Sebelum kelahiran Sakyamuni Buddha,
tak ada agama Buddha. Sebelum lahirnya kedua pendiri agama itu, agama Kristen
dan agama Buddha tidak ada. Apakah ini berarti bahwa Kebenaran juga tidak ada
sebelum lahirnya kedua agama tersebut?
Kebenaran selalu hidup di
alam semesta ini dan merupakan sifat alam semesta yang sempurna. Setelah sebagian dari Kebenaran ini ditemukan oleh pendiri
pendiri agama, kelompok kelompok agama bermunculan. Namun, bahkan bila semua agama
ini lenyap dari muka bumi, Kebenaran masih tetap hidup. Tujuan kita dalam
melatih rohani sekarang ini adalah untuk menyadari Penerangan Sempurna, untuk
mengalami Kebenaran Alam Semesta. Jadi, kejadian begitu banyak agama saling
menyerang, saling mengeritik, saling berkelahi satu sama lain merupakan
pelanggaran mendasar dari Kebenaran. Sebagian orang Kristen seringkali
menganggap umat Buddha sebagai penyembah setan. Lalu, sebagian Muslim
berkeyakinan bahwa umat Kristen dan umat Yahudi adalah orang kafir, bahwa umat
Hindu adalah penyembah setan. Di masa lalu, ada orang orang yang mengeritik
saya dan memanggil saya sebagai Maha Mara (Iblis Besar). Adakalanya, sewaktu
saya bangun tidur di pagi hari, saya suka memandang wajah saya di cermin untuk
melihat apakah rupa saya seperti setan. Rasanya tidak mirip kok.
Si guru 'les' tadi menyebut kami
penyembah setan. Banyak orang Kristen berkata bahwa Lu Sheng Yen dari Seattle
kemungkinan adalah anak Iblis! Banyak umat Buddha yang
menganggap diri mereka sebagai umat dari aliran Budhisme yang lurus memanggil
saya sebagai Iblis (Mara), sedangkan yang agak lebih sopan berpendapat
bahwa sulit membedakan antara Buddha dan Mara. Sepertinya sampai sekarang,
kecuali diri saya sendiri, tak ada yang memanggil saya seorang Buddha. [tawa
pendengar]. Sesungguhnya, saya tidak akan pernah mengeritik orang orang lain
sebagai Iblis. Saya merasa bahwa asalkan seseorang
mencari Kebenaran, ia akhirnya akan menjadi orang suci sewaktu hati nya menyatu
dengan hati Langit, menjadi seorang Buddha sewaktu hati nya menyatu dengan hati
Buddha, menjadi seorang Bodhisattva sewaktu hati nya sangat welas asih dan
menyatu dengan hati Bodhisattva.
Saya tidak meladeni [xxx] karena
agama-agama adalah batasan batasan yang dibuat oleh manusia. Para "dewa" di alam alam surga punya kebiasaan
buruk -- mereka mau semua orang untuk
percaya kepada mereka saja dan tidak kepada orang lain. Orang yang
percaya akan dapat hidup kekal. Orang yang tidak percaya akan masuk neraka. Ini
sama dengan ultimatum yang dibuat oleh seorang figur legendaris dari Cina yang
bernama Huang Chao yang memproklamirkan bahwa "barangsiapa mentaati nya
akan hidup, barangsiapa tidak mentaati nya akan mati." [xxx] seringkali
kedengaran mirip ultimatum Huang Chao, dinyatakan dengan satu tangan memegang
sebilah pedang tajam dua sisi dan satu tangan lainnya memegang buku [xxx].
Masalahnya dengan dewa-dewa seperti
ini adalah bahwa mereka suka mengucilkan pihak lain. Karena mereka menganggap
tingkat diri mereka begitu tinggi dalam dunia roh, maka mereka tidak merasa
perlu untuk percaya kepada para Buddha, malah sebaliknya semua orang harus
percaya kepada mereka. Saya tidak merasa bahwa para dewa ini salah total karena
ada hal-hal yang baik tentang ajaran ajaran mereka. Doktrin doktrin mereka
menganjurkan semua orang di dunia untuk berbuat baik, untuk menjadi bajik, dan
bahwa dengan percaya kepada mereka, manusia dapat naik ke surga. [xxx] Itulah
satu perbedaan antara [xxx].
Sang Buddha mengajarkan kita untuk
menyadari Kebenaran Alam Semesta. Ajaran Nya mencakup banyak hal. Ia
menunjukkan kita jalan sekularisme (kemanusiaan) dengan mengajarkan moralisme.
Ia menunjukkan kita jalan kedewaan dengan memiliki Hati Langit. Ia menunjukkan
kita jalan arahat dengan meninggalkan keduniawian sampai memperoleh keberhasilan.
Ia menunjukkan kita jalan bodhisattva dengan menaruh welas asih dan menolong
para insan. Ia menunjukkan kita jalan KeBuddhaan dengan sesungguhnya mencapai
Penerangan Sempurna. Dalam ajaran Budhisme, hanya ada perbedaan tingkat
latihan, yang mirip dengan Taman Kanak Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah
Atas, dan Universitas. Tak ada yang dikucilkan dalam sistim ini.
Saya adalah seorang Guru yang
termasuk dalam kelompok yang menjunjung kebebasan.
Saya tidak mengucilkan atau
mendiskriminasi agama-agama lain. Ambil contoh, kedua anak saya. Bila putri
saya ingin menikah dengan seorang Kristen, bila putra saya ingin menikah dengan
seorang Kristen pula, saya tidak akan melarang mereka. Saya menganggap bahwa
anak anak saya mempunyai nasib (jodoh)nya sendiri. Karenanya, saya membiarkan
mereka menjadi dewasa dengan bebas. Mereka berhak untuk merenungkan ide-ide
mereka sendiri dan mencari kebebasan. Sewaktu si ayah berlatih Budhisme dan
menjadi seorang biksu, tidak masalah baginya bila putra putri nya memilih untuk
beriman kepada agama Kristen. Pintu dari aliran SatyaBuddha ini terbuka lebar
dan mengijinkan orang orang untuk keluar masuk dengan bebas.
Sebagian orang-tua mungkin merasa
bahwa apapun yang mereka yakini, maka anak mereka harus ikut meyakini pula.
Tapi, saya menganggap segala sesuatu sebagai karma dan jodoh. Bahkan bila si
guru 'les' mengajarkan anak anak saya untuk beriman kepada Yesus, untuk
menyanyi lagu lagu pujian Kristen seperti "Sudah waktunya percaya
Yesus", ini tidak masalah. Saya mendukung upaya orang untuk menyelidiki
pikiran-pikiran mereka dengan bebas. Saya akan menjelaskan doktrin-doktrin
utama Budhisme kepada anak anak saya, tapi bila mereka dapatkan bahwa Budhisme
terlalu merepotkan, bahwa lebih mudah beriman pada agama Kristen, ... untuk pergi
berpuja bakti di gereja pada hari Minggu, untuk menyanyi lagu-lagu pujian,
untuk mendengar khotbah, untuk berbuat baik, dan untuk masuk ke surga kalau
mereka beriman -- maka saya tidak akan melarang mereka.
Bila anak-anak saya lebih suka
kepada kepercayaan kepercayaan yang sederhana dan tidak ingin mempelajari
dharma Buddha yang mendalam, maka biarlah. Jadi, Guru yang sekarang duduk
disini pada hari ini adalah seorang Guru yang demokratis, terbuka, dan liberal.
Saya tidak akan ikut campur urusan orang lain, termasuk urusan anak-anak saya
sendiri. Aliran kami adalah aliran yang demokratis, terbuka, dan liberal.
Begitu pula, pandangan-pandangan keagamaan saya adalah demokratis, terbuka, dan
liberal. Sungguh sayang bahwa guru 'les' itu tidak mendengar pandangan
pandangan yang saya kemukakan disini pada hari ini.
Jadi,
sebaiknya saya akhiri dengan "Om Mani Padme Hum" ataukah dengan
"Amin"?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar