Senin, 31 Juli 2017

Tarian Ular Emas



Aku selalu menyukai gunung gunung dan telah mendaki banyak diantaranya. Telah banyak kuil di gunung yang kukunjungi. Diantara­nya ada satu yang sangat istimewa yaitu yang dihuni oleh seorang bhiksu yang latihan batinnya telah sangat tinggi.

Ketika aku mengunjunginya, kuil itu sangatlah sepi. Hanya suara suara burung yang terdengar.

"Pak Lu, saya membutuhkan pertolongan anda," kata bhiksu tersebut.

"Apa yang saya dapat bantu?"

"Belum lama ini ada seorang yang tidak waras datang kesini untuk menetap. Dulu ia pernah menjadi penyantun (pemberi) dana bagi kuil ini, tapi tiba tiba ia menjadi terganggu kewarasannya. Ia telah mengunjungi banyak dokter dan rumah sakit, tapi sama sekali tidak menolong. Keluarganya mengirimnya kemari untuk menetap dengan harapan sang Buddha akan menyembuhkannya, tapi sampai sekarang belum ada tanda tanda kemajuan dalam dirinya.  Ia berteriak teriak setiap malam. Dapatkah anda menolongnya?"

"Pria atau wanita?"

"Pria."

"Berapa umurnya?  Siapa namanya?"

"Ia berusia kira kira 40 tahun.  Namanya adalah Kuo Te-hui."

Tempat penginapan berada dibelakang kuil tersebut, dikelilingi oleh taman bunga bunga.  Seorang bhiksu muda sedang menyapu daun daun yang berguguran.
Pasien tersebut dikunci dikamar terakhir dari tempat penginap­an tersebut. Kami melihatnya dari balik jendela dan mendapatkannya sedang berdiam diri tak bergeming. Ia tidak menoleh sekilaspun kepada kami. Sarapan nya terletak di meja, tidak disentuhnya. Setiap hari ada orang yang datang merawatnya dan memberinya makan. Ia tidak kelihatan lemah, tapi ia sama sekali tidak bergeming sedikitpun.

"Ia berteriak setiap malam sepertinya ia sedang marah dan berkelahi dengan seseorang."

Aku mengamati aura (sinar yang terpancar dari seseorang) diatas kepalanya dan mendapatkan asap hitam disana.  Aku mengguna­kan mata batinku untuk melihat dengan lebih seksama.  "Saya melihat dua ular berwarna emas sedang melingkar lingkar," kataku.

"Oh, benar sekali. Benar sekali. Setiap kali ia berteriak "ular", "ular", "ular itu datang lagi", "ular dimana mana", "tolong". Pada mulanya kami memeriksa seisi kamarnya untuk barangkali menemukan ular ular tersebut, tapi tidak pernah ditemukan. Karena itu kami tahu bahwa ia tidak waras. Kami tidak menghiraukan teriakan teriakannya sejak saat itu."

"Apakah kalian memberikannya obat obatan?"

"Ya, dokter telah memberikan resep obat untuknya."

Aku kemudian kembali ke ruang kuil, menyalakan hio, dan bersujud dihadapan arca Buddha. Aku bermeditasi selama 5 menit, kemudian menoleh kepada sang bhiksu serta berkata, "Dapatkah anda mengundang keluarganya kesini?"

"Ya, keluarganya datang kesini setiap minggu."

Sewaktu kedua kalinya aku mengunjungi gunung itu, sang bhiksu mengenalkanku dengan Nyonya Kuo. Ia masih muda dan menarik; dulunya seorang guru sekolah.  Mereka dikarunia dengan dua anak; satu putra dan satu putri. Mereka menetap di sebuah rumah yang nyaman di kaki gunung. Pak Kuo mengoperasikan dua buah pabrik.

"Apakah kalian pernah membunuh ular ular di rumah kalian?" aku bertanya kepadanya.

"Tidak."

"Lalu siapa yang membunuh ular ular itu?"

"Pembantu rumah kami."

"Kapan?"

"Kira kira beberapa hari sebelum ia jatuh sakit."

"Kalau begitu itulah sebabnya."

"Pembantu itu tidak ada hubungannya dengan suami saya. Lagipula, sekarang ini muncul banyak restauran restauran disana sini yang menyediakan masakan ular. Banyak orang menyantap ular.  Hati suami saya sangatlah baik; ia percaya dengan ajaran sang Buddha, dan ia telah banyak berdana kepada kuil. Mengapa sang Buddha tidak melindunginya?"

"Harap anda jangan marah. Pak Kuo menciptakan situasi ini sewaktu ia berusia 33 tahun."

Ia terdiam sejenak, kemudian ia menjawab,"Pak Lu, usianya sekarang 43 tahun; jadi berarti kejadiannya 10 tahun yang lalu. Bagaimana anda bisa tahu?"

"Buddha memberitahuku."

Ceritanya adalah sebagai berikut:
10 tahun yang lalu, Kuo Te-hui bermain asmara dengan seorang wanita lain. Rahasia ini akhirnya diketahui oleh nyonya Kuo dan membuatnya sangat marah. Wanita kedua tersebut menjadi hamil. Berada didalam posisi yang sulit ini, Pak Kuo akhirnya memberi wanita kedua itu sejumlah uang dan mengusirnya. Tetapi wanita itu sangat mencintai Pak Kuo dan tidak mau mengambil uangnya. Ia meloncat kedalam lautan, membunuh diri.

Tidak lama setelah wanita itu membunuh diri, dua ular muncul di rumah Pak Kuo. Ular-ular itu sangatlah gesit; mereka menghilang setiap kali didekati manusia. Tetapi enam bulan yang lalu seorang pembantu rumah Pak Kuo membunuh ular ular itu. Sejak saat itu Pak Kuo menjadi hilang ingatan.

Nyonya Kuo terdiam mendengar hal ini. Sang bhiksu melafal nama Buddha.

"Pak Lu, apakah ada jalan keluarnya?"

"Pada jaman sekarang manusia tidak lagi percaya tentang reinkarnasi. Ada yang percaya adanya surga dan neraka. Tapi yang lainnya berkata bahwa surga dan neraka hanya ada di benak pikiran atau dihati -- tidak betul betul ada. Orang mau percaya atau tidak, hukum karma tetap berjalan tanpa pilih kasih. Hanya suami anda yang dapat menyelesaikan karma ini. Ketika ia telah melunasi karma buruknya, ia akan sadar kembali. Resep obat tidak akan menolong sekarang ini," kataku.

"Kalau kita memohon kepada sang Buddha, apakah akan membantu?" Nyonya Kuo bertanya dengan penuh kekuatiran.

"Sifat Buddha Dharma adalah kosong dan hening. Tidak ada Dharma yang dapat muncul di waktu yang tidak sesuai. Memaksakan sesuatu untuk terjadi di waktu yang tidak sesuai tidak akan berguna; karena itu, doa doa saya sekarang ini tidak akan menolong. Ikatan harus dibuka oleh orang yang mengikat. Janganlah kuatir. Biarkanlah segala sesuatu berjalan secara alamiah."

Aku memandang kepada arca sang Buddha.


Aku merasa sedih untuk pasangan muda ini meskipun aku tahu bahwa masalah mereka akan terpecahkan pada suatu saat.


*sumber: e-book Padmakumara-1, kisah ke-31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar