Senin, 18 Mei 2020

KISAH PILU AKIBAT CINTA, KEKECEWAAN YANG MEMBAKAR JIWA


Elegi Cinta
Di tengah penjelajahan spiritual—


Terdengar doa seorang siswi muda, “Om. Guru. Liansheng. Siddhi Hum. Mahaguru, Dharmaraja Liansheng Sheng-yen Lu, saya telah melakukan 49 kali puja api (homa), mohon Bhagawati Kurukulle memberkati cinta kasih saya, mohon jalankan ikrar dasar, saya ingin menikah dengan teman pria.”
Doa si siswi sangat khusyuk, “Mohon Mahaguru! Mohon Bhagawati Kurukulle!”
Puja api homa dalam ajaran Tantra sangat dahsyat, Dharmabala sangat kuat, sehingga di tengah penjelajahan spiritual, saya juga mendengar seruan yang keras dari si siswi.
Demi si siswi, saya memeriksa teman prianya.
Tak disangka, teman pria ini juga siswa saya, jadi, siswi ini jatuh cinta pada siswa, cinta mati.
Siswi ini lari ke depan pintu si siswa, sering menunggunya pulang kerja untuk sekedar bertemu sebentar, memberi salam sebentar, bicara sepatah dua patah kata....
Sedangkan, siswa ini terkesan menghindarinya.
Yang mengejutkan saya, siswa ini juga melakukan puja api homa, ia melakukan puja api Ragavidyaraja, ia juga berdoa dengan tulus, “Om. Guru. Liansheng. Siddhi Hum. Mahaguru, Dharmaraja Liansheng Sheng-yen Lu, saya telah melakukan 49 kali puja api Ragavidyaraja, mohon berkati pernikahan saya dengan teman wanita saya.”
Masalahnya adalah:
Si siswi jatuh cinta pada si siswa.
Tetapi yang dicintai oleh si siswa bukanlah si siswi.
Melainkan siswi saya yang lain. Kekasihnya bukan dia.
Suatu hari—
Si siswa mengantar teman wanita pulang dengan mobil Benz, mereka berdua bermesraan, saling bergandengan tangan, bahkan cium pipi. Si siswi tertegun, bengong!
Ingin menangis tetapi tidak ada air mata, ia diam-diam melihat si siswa, tangannya merangkul pinggang si siswi, masuk ke dalam rumah, lalu terdengar bunyi “phong”, pintu pun ditutup.
Si siswi sedih, akhirnya tidak tahan lagi, air matanya menetes, ia dengan setia menunggunya pulang, alhasil melihat adegan ini.
Si siswi tidak putus asa, pulang ke rumah, melakukan puja api homa lagi, berdoa lagi, berseru keras lagi, “Om. Guru. Liansheng. Siddhi Hum. Mahaguru, apakah Anda dengar?”
“Om. Bhagawati Kurukulle. Saya tidak akan menikah dengan orang lain selain dia, ia tidak akan menikahi orang lain selain saya. Apakah Anda dengar?”
Api homa membara-bara.
Yang tak disangka adalah:
Siswa saya ini sangat mencintai wanita (teman wanita) yang sekarang, sedangkan, terhadap teman wanita yang melakukan homa ini, hatinya tidak tersentuh sama sekali.
Bahkan, siswa ini sangat tekun dan rajin menekuni Sadhana Ragavidyaraja, mantranya sudah dihafal dan dijapa jutaan kali.
Di tengah penjelajahan spiritual, saya berunding dengan Bhagawati Kurukulle dan Ragavidyaraja tentang kedua murid saya yang menekuni sadhana homa untuk memohon cinta kasih.
Kami mempelajari 4 poin utama:
1. Sebab akibat karma asmara antara mereka bertiga.
2. Hasil yang bagaimana baru dianggap adil dan setara.
3. Mampukah di bawah Dharmabala, keyakinan tetap dapat ditingkatkan.
4. Mampukah perasaan mereka bertiga tetap dijaga sehingga tidak ada seorang pun yang terluka.
Hasil perundingan adalah:
Bhagawati Kurukulle geleng kepala.
Ragavidyaraja geleng kepala.
Saya geleng kepala.
Ternyata “asmara” tidak pernah berhenti menjerat, tidak dapat diselesaikan, orang yang cenderung mencintai pasti sangat menderita, keinginan memiliki orang yang kita cintai itu kuat, selamanya takkan pernah berhenti bersirkulasi, jika keinginan kita dituruti, maka kita pun bahagia; jika keinginan kita tidak dituruti, maka kita pun marah.
Jawabannya adalah ikuti kehendak alam.
Namun, saya tetap menaruh simpati pada siswi yang melakukan puja api homa tersebut, saya tahu permohonannya tidak terkabul, sekalipun melakukan 100 kali atau lebih, Bhagawati Kurukulle juga tidak mampu membantunya, bahkan saya pun tidak mampu membantunya.
Saya diam-diam berbisik padanya, “Siswi! Anda memohon saya, saya memohon siapa?”
Ia mendengar suara, tidak melihat diri saya, ia memandang sekeliling, kebingungan!
Tetapi, ia tetap tidak mengerti maksud saya.
Saya terpaksa menjelajah spiritual ke tempat lain!
Segala asmara di dunia, semua timbul karena nidana, ada jodoh yang dalam, ada jodoh yang dangkal, ada jodoh yang akan membuahkan hasil, ada jodoh yang tidak membuahkan hasil. Sekalipun berdoa dan puja api, tetap ada pemberkatan Dharmabala, tetapi “karma tetap”, “jodoh tetap” juga sulit sekali diubah.
Saya berkata:
Jika syarat terpenuhi.
Nidana dengan sendirinya akan bertemu.
Jika syarat tidak terpenuhi.
Memaksa pun tidak ada gunanya.
Saya sama sekali tidak bermaksud bahwa sadhana Tantra tidak memiliki Dharmabala, tetapi, kemelekatan ego, pandangan ego, pandangan satkāya-dṛṣṭi, tuntutan hasrat adalah segala Dharma yang berkondisi, “karma tetap” juga sulit diubah.
Saya telah berusaha sekuat tenaga memberitahu si siswi. Berharap semoga ia dapat melepaskan, barulah dapat benar-benar memadamkan api kerisauan.
Suatu hari, orang yang ia cintai telah menikah, mempelai wanita bukan dirinya.
Kebencian alam manusia paling mengerikan, kebencian yang timbul dari lubuk hatinya tidak hanya membenci siswa itu, tetapi juga membenci si mempelai wanita. Bahkan orang tua, saudara, dan semua orang.
Kebencian bisa mengubah segalanya, seketika, etika, moral, kebijaksanaan, agama, kesabaran telah hilang semua, hati selalu penuh kebencian dan ketidakpuasan, ia tidak mungkin memiliki kebahagiaan dan ketenangan apapun.
Ia tidak mampu menyeimbangkan mentalnya--
Membenci Mahaguru tidak menjawab doanya.
Membenci sadhana homa.
Membenci Bhagawati Kurukulle tidak membantunya.
Ia membuang foto Mahaguru dan seluruh Buddha Bodhisattva di altar mandalanya, bahkan tungku homa pun diberikan pada orang lain, semua alat Dharma pun dibuang, jubah yang biasa dikenakannya pun dibakar, ia benci, benci, benci, kebencian yang tak terhingga....
Saya meneteskan air mata pun tidak ada gunanya, tidak mampu menyadarkan hatinya.
Ia menyobek sertifikat bersarana.
Saya merasa malu pada diri saya sendiri, tak disangka saya tidak mampu menolongnya, saya menyalahkan diri sendiri, saya malu, saya tidak mampu, saya sakit hati, tetapi tidak berdaya!
Semua insan memiliki keinginan, sehingga banyak yang bersarana dengan harapan supaya keinginannya terpenuhi, sebenarnya setelah memasuki pintu sarana, kita harus benar-benar dapat mendalami “Dharma Nidana”, orang yang selalu melekat pada keinginan dan tidak dapat melepaskannya, kadang mudah sekali kehilangan keyakinan.
Mari kita semua coba renungkan:
Tidak ada satu benda pun bisa dibawa mati.
Hanya karma mengikuti diri.
Hasrat tidak pernah terpuaskan.
Belajar Buddha berubah jadi belajar Mara.
Setelah memasuki pintu sarana, kita harus membangkitkan Bodhicitta, ke atas berusaha mencapai kebuddhaan, ke bawah menyadarkan insan, kita memohon apapun tanpa niat yang melekat. Dengan kata lain, harus melupakan 3 hal dalam berdana, jangan melekat. Dengan demikian, Bodhicitta yang kita kembangkan barulah tidak akan menyakiti orang lain dan diri sendiri, belajar Buddha dan melatih diri yang sesungguhnya adalah tiada masalah, tiada niat yang melekat, tiada beban, tiada kerisauan, tiada kegelisahan, dan tiada kesedihan.
Menekuni puja api homa dalam ajaran Tantra kita, kita cukup memohon daya pemberkatan dari Buddha Bodhisattva dan para arya serta berusaha dengan sekuat tenaga.
Pada saat bersamaan, kita harus mengerti bahwa kesuksesan dan kegagalan lahiriah di alam manusia sebenarnya merupakan fenomena yang sementara, yang namanya “terbentuk, bertahan, rusak, dan kosong”, “lahir, bertahan, berubah, musnah”, “anitya”, “anatman”, “duka”, “sunya”, semua adalah “nidana” semata. (Asmara adalah nidana semata)
Tujuan kita belajar Buddha adalah:
Menuju kebajikan.
Menuju kesucian.
Menuju terang.
Menuju pembebasan.
Belajar Buddha dan melatih diri adalah belajar kebijaksanaan Moksa (pembebasan) dan kebijaksanaan Bodhi (kebuddhaan), kita harus penuh dengan Dharmasukha, berpuas diri baru bisa selalu bahagia, sehat, sukacita, melihat segala sesuatu di dunia itu indah, selalu bersyukur dalam segala hal, sadhaka mesti menyebarluaskan Dharmasukanya seperti keharuman bunga untuk menggugah insan.
Hidup yang bahagia itu harus menyingkirkan loba, dosa, moha, inilah konsep hidup yang sejati. Iri dan benci itu tidak benar, kita sebagai umat Buddha harus mengerti bahwa Agama Buddha dibangun di atas pandangan benar hukum sebab akibat, yang menjadi korban pertama dari kebencian tetap diri sendiri.
Oh, siswa yang bersarana! Di sini, saya harus memberitahu Anda semua dengan jelas, tahukah Anda hati Mahaguru? Bersarana harus sehati dengan Mahaguru? Tahukah Anda ikrar Mahaguru? Bersarana harus menjalankan ikrar? Tahukah Anda ajaran Dharma Sadhana Tantra Satya Buddha Mahaguru? Bersarana harus mengerti ajaran Dharma? Jangan dipengaruhi oleh “asmara” sendiri.
Saya berharap Tantrika yang melatih Sadhana Homa (puja api), tunjukkan “sepenuh hati mempersembahkan”, “sepenuh hati berdana”, “sepenuh hati bertekun”, “sepenuh hati japa mantra”, “sepenuh hati bersyukur”, “sepenuh hati berlindung”. Bukan memohon, memohon, memohon. ... memohon bagaimana bisa puas?
.
.
Dari buku 166_Catatan Penjelajahan Spiritual yang di tulis oleh Mahaguru Sheng Yen Lu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar