Rabu, 09 Agustus 2017

CERAMAH "BERBAGAI ASPEK AGAMA"

(Rintangan dalam pembabaran dharma Buddha kepada para insan)

Ceramah Dharma Maha Acarya Lian Shen Lu Sheng Yen tanggal 22 November 1986 di Redmond, Washington
dikutip dari buku Padmakumara 15, artikel ke-7

Upaya menolong para insan untuk mencapai Penerangan merupakan sebuah tugas yang sulit dan penuh dengan rintangan. Orang kaya sulit percaya tentang pentingnya pelatihan rohani karena bagi mereka, uang itu sangat berkuasa. Orang orang yang berstatus sosial tinggi biasanya juga tidak mudah percaya karena mereka menganggap diri mereka sendiri jauh tinggi dibandingkan segala hal lainnya. Orang orang yang sangat sehat juga sulit percaya karena mereka merasa bahwa kepalan tinju mereka cukup kuat untuk bahkan mengalahkan para dewa.

Adakalanya pula, semakin berpengetahuan seseorang, semakin sulit baginya untuk mempunyai keyakinan rohani. Ia mungkin merasa bahwa ia sudah begitu pintar sehingga ia enggan untuk menaruh kepercayaan kepada orang lain.

Orang orang yang panjang umur juga adakalanya sulit menerima keyakinan rohani karena mereka merasa bahwa hidup mereka selama ini sudah berjalan lancar tanpa perlu keyakinan rohani.
Sakyamuni Buddha berkata bahwa para dewa di alam alam surga tidak menaruh keyakinan pada keberadaan para Buddha. Karena para dewa ini menikmati pahala surgawi yang sangat besar, mereka tidak merasa perlu untuk percaya kepada para Buddha. Sakyamuni Buddha mengingatkan semua siswa nya untuk tidak mengejar keberuntungan dan untuk tidak bergulat untuk mau terlahir di alam alam dewa (surga). Ini karena kelahiran di alam alam surga (dewa) bisa kemudian mengakibatkan kelahiran di alam-alam neraka. Setelah seseorang menjadi dewa yang menikmati keberuntungan setiap hari, ia bisa saja akhirnya masuk ke dalam neraka sewaktu pahala nya habis. Jadi, orang orang yang menikmati keberuntungan juga tidak mudah untuk mempunyai keyakinan rohani.

Banyak orang yang berstatus sosial tinggi tidak beranjali (merangkapkan kedua tangan) sewaktu datang mengunjungi saya. Mereka menganggap diri mereka lebih tinggi. Mengapa mereka harus merangkapkan kedua tangan untuk menghormati seorang biksu pendek?

Banyak orang kaya yang datang mengunjungi saya juga tidak merangkapkan kedua tangan untuk memberi salam kepada saya. Di dalam benak, mereka berkata, "Saya bisa mengubur mu dengan uang saya."

Orang orang yang berusia lebih tua dari saya seringkali juga tidak merangkapkan kedua tangan untuk menyalami saya sewaktu mereka datang kesini. Mereka berpikir, "Saya sudah lebih banyak makan asam garam dibandingkan kau."

Orang orang sehat dengan tubuh fisik yang kuat juga tidak beranjali sewaktu menyalami saya karena mereka merasa bahwa dengan sedikit dorongan saja saya sudah bisa dibuat terjungkal.

Jadi, tidaklah mudah membuat orang mempunyai keyakinan rohani. Juga pada umumnya sangat sulit bagi putra putri untuk meyakinkan orang tua mereka supaya berkeyakinan rohani.

Banyak orang-tua merasa bahwa karena mereka adalah pihak orang tua, maka mereka tidak boleh mendengarkan omongan anak anak mereka, meskipun apa yang dikatakan anak anak mereka sangat meyakinkan.

Semua ini adalah rintangan rintangan dalam pembabaran dharma Buddha kepada para insan. Jadi, setelah anda menyadari bahwa status tinggi, uang, dan kekuasaan bisa menjadi perintang dalam menjalankan kehidupan rohani, anda seharusnya tidak lagi melekat pada ide ide yang bersifat mementingkan diri sendiri. Sesungguhnya, tak ada pemuasan keinginan diri yang dapat disejajarkan dengan kebenaran dharma Buddha.

Saat ini, hati saya dipenuhi dengan emosi besar. Topik yang saya akan bicarakan pada malam ini adalah topik yang telah saya berusaha hindari selama 5 tahun terakhir semenjak tiba nya saya di Amerika Serikat. Topik nya adalah "Berbagai Aspek Agama". Mengapa saya menghindarkan diri dari diskusi tentang topik ini? Saya kuatir bahwa diskusi diskusi seperti ini akan mengakibatkan kritik terhadap agama-agama lain. Namun, sebuah kejadian kecil yang terjadi belum lama ini di rumah tangga saya membuat saya berkeyakinan bahwa membahas sedikit tentang topik ini adalah layak adanya.

Inilah yang terjadi. Seorang guru "les" kami bayar untuk datang ke rumah kami untuk memberi bimbingan pelajaran tambahan bagi kedua anak kami. Pada mulanya, segala sesuatu berjalan lancar dan tenang. Anak anak kami merasa senang, dan si guru "les" pun senang terhadap anak anak kami. Dibawah bimbingan yang baik dari si guru 'les', anak anak kami membuat kemajuan besar dalam pelajaran pelajaran sekolah mereka.

Pada suatu hari, si guru les menelpon kami untuk memberitahu bahwa ia tidak lagi dapat datang ke rumah kami untuk mengajar. Sewaktu kami bertanya apa alasan nya, ia memberitahu saya bahwa alasannya berkaitan dengan masalah agama. Ternyata, guru les itu adalah seorang Kristen. Setelah menyadari bahwa saya adalah seorang biksu Buddhis, ia berkata bahwa ia telah diganggu oleh perasaan berdosa karena [ia merasa] bahwa ia tidak boleh melayani orang kafir (orang berdosa). Kejadian kecil inilah yang membuat saya ingin membahas topik ini pada malam hari ini.

Bukanlah niat saya untuk mengeritik agama-agama lain karena kritik semacam itu sangat mudah menimbulkan konflik. Islam, Katolik, Kristen, Yahudi, ini semua sering disebut sebagai agama-agama monotheisme. Sedangkan, Hindu di India dan Taoisme di Cina sering disebut agama agama politheisme. Banyak orang juga menganggap bahwa Budhisme adalah sebuah agama politheisme. Sesungguhnya, semenjak semula, Sakyamuni Buddha hanya berbicara tentang "manusia" (insan). Beliau tidak berbicara tentang pemujaan "Buddha". Budhisme bukanlah agama politheisme. Budhisme mengajarkan manusia untuk menjadi Buddha dengan menyadari Kebenaran dan mencapai Penerangan Sempurna.

Meskipun topik pada hari ini diberi judul "Berbagai Aspek Agama", saya sesungguhnya adalah seorang yang menolak semua agama. Anda mungkin menganggap pernyataan saya ini aneh sekali. Bagaimana bisa seorang Guru rohani menolak agama-agama? Berbicara secara lebih mendalam, sesungguhnya tak ada agama di dunia ini. Agama adalah kelompok yang diciptakan manusia. Kebenaran Alam Semesta sudah ada semenjak dulu. Sebelum kelahiran Yesus Kristus, tak ada agama Kristen. Sebelum kelahiran Sakyamuni Buddha, tak ada agama Buddha. Sebelum lahirnya kedua pendiri agama itu, agama Kristen dan agama Buddha tidak ada. Apakah ini berarti bahwa Kebenaran juga tidak ada sebelum lahirnya kedua agama tersebut?

Kebenaran selalu hidup di alam semesta ini dan merupakan sifat alam semesta yang sempurna. Setelah sebagian dari Kebenaran ini ditemukan oleh pendiri pendiri agama, kelompok kelompok agama bermunculan. Namun, bahkan bila semua agama ini lenyap dari muka bumi, Kebenaran masih tetap hidup. Tujuan kita dalam melatih rohani sekarang ini adalah untuk menyadari Penerangan Sempurna, untuk mengalami Kebenaran Alam Semesta. Jadi, kejadian begitu banyak agama saling menyerang, saling mengeritik, saling berkelahi satu sama lain merupakan pelanggaran mendasar dari Kebenaran. Sebagian orang Kristen seringkali menganggap umat Buddha sebagai penyembah setan. Lalu, sebagian Muslim berkeyakinan bahwa umat Kristen dan umat Yahudi adalah orang kafir, bahwa umat Hindu adalah penyembah setan. Di masa lalu, ada orang orang yang mengeritik saya dan memanggil saya sebagai Maha Mara (Iblis Besar). Adakalanya, sewaktu saya bangun tidur di pagi hari, saya suka memandang wajah saya di cermin untuk melihat apakah rupa saya seperti setan. Rasanya tidak mirip kok.

Si guru 'les' tadi menyebut kami penyembah setan. Banyak orang Kristen berkata bahwa Lu Sheng Yen dari Seattle kemungkinan adalah anak Iblis! Banyak umat Buddha yang menganggap diri mereka sebagai umat dari aliran Budhisme yang lurus memanggil saya sebagai Iblis (Mara), sedangkan yang agak lebih sopan berpendapat bahwa sulit membedakan antara Buddha dan Mara. Sepertinya sampai sekarang, kecuali diri saya sendiri, tak ada yang memanggil saya seorang Buddha. [tawa pendengar]. Sesungguhnya, saya tidak akan pernah mengeritik orang orang lain sebagai Iblis. Saya merasa bahwa asalkan seseorang mencari Kebenaran, ia akhirnya akan menjadi orang suci sewaktu hati nya menyatu dengan hati Langit, menjadi seorang Buddha sewaktu hati nya menyatu dengan hati Buddha, menjadi seorang Bodhisattva sewaktu hati nya sangat welas asih dan menyatu dengan hati Bodhisattva.

Saya tidak meladeni [xxx] karena agama-agama adalah batasan batasan yang dibuat oleh manusia. Para "dewa" di alam alam surga punya kebiasaan buruk -- mereka mau semua orang untuk percaya kepada mereka saja dan tidak kepada orang lain. Orang yang percaya akan dapat hidup kekal. Orang yang tidak percaya akan masuk neraka. Ini sama dengan ultimatum yang dibuat oleh seorang figur legendaris dari Cina yang bernama Huang Chao yang memproklamirkan bahwa "barangsiapa mentaati nya akan hidup, barangsiapa tidak mentaati nya akan mati." [xxx] seringkali kedengaran mirip ultimatum Huang Chao, dinyatakan dengan satu tangan memegang sebilah pedang tajam dua sisi dan satu tangan lainnya memegang buku [xxx].

Masalahnya dengan dewa-dewa seperti ini adalah bahwa mereka suka mengucilkan pihak lain. Karena mereka menganggap tingkat diri mereka begitu tinggi dalam dunia roh, maka mereka tidak merasa perlu untuk percaya kepada para Buddha, malah sebaliknya semua orang harus percaya kepada mereka. Saya tidak merasa bahwa para dewa ini salah total karena ada hal-hal yang baik tentang ajaran ajaran mereka. Doktrin doktrin mereka menganjurkan semua orang di dunia untuk berbuat baik, untuk menjadi bajik, dan bahwa dengan percaya kepada mereka, manusia dapat naik ke surga. [xxx] Itulah satu perbedaan antara [xxx].

Sang Buddha mengajarkan kita untuk menyadari Kebenaran Alam Semesta. Ajaran Nya mencakup banyak hal. Ia menunjukkan kita jalan sekularisme (kemanusiaan) dengan mengajarkan moralisme. Ia menunjukkan kita jalan kedewaan dengan memiliki Hati Langit. Ia menunjukkan kita jalan arahat dengan meninggalkan keduniawian sampai memperoleh keberhasilan. Ia menunjukkan kita jalan bodhisattva dengan menaruh welas asih dan menolong para insan. Ia menunjukkan kita jalan KeBuddhaan dengan sesungguhnya mencapai Penerangan Sempurna. Dalam ajaran Budhisme, hanya ada perbedaan tingkat latihan, yang mirip dengan Taman Kanak Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Atas, dan Universitas. Tak ada yang dikucilkan dalam sistim ini.

Saya adalah seorang Guru yang termasuk dalam kelompok yang menjunjung kebebasan.

Saya tidak mengucilkan atau mendiskriminasi agama-agama lain. Ambil contoh, kedua anak saya. Bila putri saya ingin menikah dengan seorang Kristen, bila putra saya ingin menikah dengan seorang Kristen pula, saya tidak akan melarang mereka. Saya menganggap bahwa anak anak saya mempunyai nasib (jodoh)nya sendiri. Karenanya, saya membiarkan mereka menjadi dewasa dengan bebas. Mereka berhak untuk merenungkan ide-ide mereka sendiri dan mencari kebebasan. Sewaktu si ayah berlatih Budhisme dan menjadi seorang biksu, tidak masalah baginya bila putra putri nya memilih untuk beriman kepada agama Kristen. Pintu dari aliran SatyaBuddha ini terbuka lebar dan mengijinkan orang orang untuk keluar masuk dengan bebas.

Sebagian orang-tua mungkin merasa bahwa apapun yang mereka yakini, maka anak mereka harus ikut meyakini pula. Tapi, saya menganggap segala sesuatu sebagai karma dan jodoh. Bahkan bila si guru 'les' mengajarkan anak anak saya untuk beriman kepada Yesus, untuk menyanyi lagu lagu pujian Kristen seperti "Sudah waktunya percaya Yesus", ini tidak masalah. Saya mendukung upaya orang untuk menyelidiki pikiran-pikiran mereka dengan bebas. Saya akan menjelaskan doktrin-doktrin utama Budhisme kepada anak anak saya, tapi bila mereka dapatkan bahwa Budhisme terlalu merepotkan, bahwa lebih mudah beriman pada agama Kristen, ... untuk pergi berpuja bakti di gereja pada hari Minggu, untuk menyanyi lagu-lagu pujian, untuk mendengar khotbah, untuk berbuat baik, dan untuk masuk ke surga kalau mereka beriman -- maka saya tidak akan melarang mereka.

Bila anak-anak saya lebih suka kepada kepercayaan kepercayaan yang sederhana dan tidak ingin mempelajari dharma Buddha yang mendalam, maka biarlah. Jadi, Guru yang sekarang duduk disini pada hari ini adalah seorang Guru yang demokratis, terbuka, dan liberal. Saya tidak akan ikut campur urusan orang lain, termasuk urusan anak-anak saya sendiri. Aliran kami adalah aliran yang demokratis, terbuka, dan liberal. Begitu pula, pandangan-pandangan keagamaan saya adalah demokratis, terbuka, dan liberal. Sungguh sayang bahwa guru 'les' itu tidak mendengar pandangan pandangan yang saya kemukakan disini pada hari ini.

Jadi, sebaiknya saya akhiri dengan "Om Mani Padme Hum" ataukah dengan "Amin"?

Om Mani Padme Hum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar