Kamis, 04 Februari 2010

Akibat dari hidup rohani dan hidup duniawi (sebuah perjalanan astral)

Disuatu musim panas ketika sedang terik teriknya matahari, aku sedang bersantai. Suatu ketika ketika aku memejamkan mataku untuk tidur siang aku rasakan rohku meninggalkan badan pergi kesuatu tempat lain.
Aku dapatkan diriku di sebuah jalan yang unik. Seorang tua datang menghampiriku.

"Apakah anda bernama Lian-sheng?" katanya ketika semakin mendekat.

"Benar," jawabku. "Tuan yang terhormat, siapakah anda?"
"Aku adalah Dewa dari gunung Tou-pien."
"Oh, aku ingat gunung itu. Aku pergi bersama beberapa kawan untuk mengunjungi beberapa lokasi disana. Aku datang mampir di altar anda untuk memberi hormat."
"Ya, ya. Itu sebabnya aku mengenal anda. Karena anda ada disini sekarang, bila anda punya waktu luang, maka aku ingin mengajak¬mu melihat beberapa hal yang menarik."
Dewa itu tidak berkata apa apa lagi, tapi mulai bergerak dengan sangat cepat. Aku tidak mempunyai waktu untuk berpikir lagi -- aku hanya mengikuti saja.

Pengalamanku bepergian secara roh adalah bahwa tidak ada batasan batasan fisik yang dapat menghambat kita di dunia astral (roh). Didalam alam ini, orang dapat berjalan diatas air, terbang keatas gunung gunung, menyeberangi sungai sungai, atau memasuki rumah rumah. Pintu pintu tidak dapat menghambat kita. Dan kita dapat datang dan pergi dengan sangat cepat.

Orang tua itu membawaku ke sebuah gunung yang sepi dan tandus. Disana aku melihat sebuah rumah dengan atap bilik. Didalam¬nya kulihat ada sesosok mayat yang kurus didalam peti mati.


Sang Dewa bersembunyi dibelakang sebuah batu besar bersamaku. Tidak lama kemudian aku melihat langit terbuka. Sesosok makhluk angkasa turun kegunung itu dengan menggunakan awan. Gunung itupun menjadi bermandikan cahaya warna warni terutama sekali warna keemasan.


Beberapa dewa bumi datang untuk mengawal makhluk tersebut. Makhluk angkasa itu dengan rendah hati bersujud dihadapan peti mati itu. Dengan hormat, ia membungkukkan badan ke tubuh kasar yang tua dan kurus itu sebanyak 3 kali.


Setelah ia berdiri lagi, makhluk angkasa tersebut mengelus-elus tubuh kasar tersebut dengan penuh kasih sayang.
Kemudian ia sirna kembali ke angkasa.

"Apa yang terjadi?" tanyaku.

"Makhluk itu sedang memberikan penghormatan terakhir kepada tubuh kasarnya. Tubuh itu merupakah tubuh kasar roh tersebut ketika ia masih hidup di dunia manusia. Roh yang berkesadaran tinggi itu datang kembali untuk melihat 'bungkusan' nya selama hidup di dunia. Inilah yang dinamakan 'menggunakan yang palsu untuk melatih yang asli'. Untuk mencapai tingkatan kerohanian yang dimiliki makhluk itu sekarang ini, tubuh kasar itu banyak mengalami penderitaan."
"Oh, begitu. Aku mengerti sekarang."
"Roh itu turun kembali ke gunung untuk memberi hormat kepada tubuh kasarnya karena sewaktu ia masih hidup didalam tubuh kasar tersebut sebagai seorang manusia -- tubuh tersebut dapat mentaati sila sila (peraturan peraturan dalam melatih batin). Sewaktu menggunakan tubuh tersebut, ia dapat mengikuti hati nuraninya dan memberikan berkat kepada orang lain dengan hati yang tulus. Itu sebabnya, rohnya itu dapat lulus ujian didalam dunia ini dan naik kelas didalam dunia roh."

Ketika aku sedang merenungkan hal ini, sang dewa telah bergerak lagi dan aku harus segera mengikutinya.
Kali ini kami tidak berjalan di gunung yang tandus ataupun dijalanan yang sempit; kami pergi ke sebuah kota yang ramai hiruk pikuk. Kami melewati banyak jalanan dan orang orang. Tidak ada seorangpun yang dapat melihat kami. Akhirnya, kami tiba di sebuah rumah yang megah. Dewa itu masuk kedalam rumah tersebut; aku mengikutinya. Ruangan utamanya sangatlah besar berlantaikan karpet yang indah.

Kain kain putih digantung dari langit langit bertuliskan pesan pesan seperti:
"Kembali ke surga", "Hidup selamanya", "Selalu dihatiku", dan "Kembali ke Alam Amitabha."

Dibalik hordeng putih, aku melihat sesosok tubuh yang gemuk dan besar didalam sebuah peti mati. Baju yang dipakainya dengan mudah menimbulkan gagasan dihatiku bahwa ia adalah presiden direktur dari banyak perusahaan besar.

Sang dewa menyuruhku bersembunyi dibalik sebuah sofa. Tidak lama kemudian aku melihat seekor binatang aneh muncul. Tubuhnya berbau kotor; matanya keluar seperti mata ikan mas; mulutnya besar; lehernya kecil. Ia berjalan selangkah demi selangkah dengan kakinya yang kurus kearah peti mati dengan pandangan yang sangat marah; ia memegang sebuah cambuk. Dengan bengis, ia mencambuki mayat itu sambil berteriak dan menyumpah.

Wajah mayat itu menjadi biru, kemudian menjadi sangat menakutkan. Kulitnya yang tadinya putih mulus tergores gores dengan garis garis merah dan biru. Otot ototnya menyusut dan mulai berbau yang tidak enak.

"Kau!" teriak setan yang marah itu. "Tubuh yang kotor ini merusakku!" Ia betul betul marah.

Sang Dewa berkata, "Lian-sheng, setan yang marah itu menyesal. Sewaktu ia berada didalam tubuh fisiknya, ia melibatkan diri didalam segala macam nafsu. Sekarang ia menyesali perbuatan perbuatannya, tapi sudah terlambat."

"Orang ini mempunyai banyak kesempatan untuk melakukan kebajikan demi masyarakat. Mengapa ia tidak lakukan?" tanyaku.

"Ini karena terkena racun keserakahan. Orang belum mau kapok kalau belum terkena hukuman. Ada istilah mengatakan bahwa orang belum menangis kalau belum melihat mayat."

Sang dewa berkata lagi, "Ketika kau kembali, tuliskanlah pengalaman yang kau lihat ini dengan harapan dapat menyadarkan beberapa manusia didunia."

"Aku rasa orang tidak akan percaya bila kuceritakan! Di pandangan mereka, ini merupakan suatu dongeng belaka," kataku.

"Bila orang berjodoh, ia akan mempercayainya. Bila tidak, biarlah mereka menertawakannya. Hidup ini seperti mimpi belaka. Sudah waktunya kau kembali sadar."

Ia mendorongku dan akupun kembali ke alam manusia. Aku melihat jam tanganku. Ternyata aku baru tidur selama 1 jam. Tetapi lengan dan kakiku terasa sangat lelah sepertinya aku telah bepergian sangat jauh.



sumber tulisan: ebook Padmakumara 1, artikel ke-25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar