Kamis, 04 Februari 2010

Lebah Berbaju Merah (Alam Semesta Sungguh Mentakjubkan)

Hidup saya penuh dengan kisah-kisah gaib. Semua kisah gaib ini saya alami hanya dikarenakan satu kata saja yaitu "jodoh". Ada pepatah mengatakan: bila ada jodoh, maka meski terpisah ribuan li sekalipun, tetap bisa bertemu. Bila tidak berjodoh, maka meski ada di seberang jalan sekalipun, tidak akan saling bertemu. Semuanya adalah jodoh. Semuanya adalah pula ilusi.

Pada suatu kali, saya pulang malam. Saya melewati sebuah hutan kecil. Malam itu kabut turun sangat tebal sehingga hutan hanya samar-samar terlihat. Mendadak mata saya serasa rabun. Sekilas saya melihat gaun merah yang berkilauan. Sekali berkilau, lalu menghilang.

Saya terperanjat. Saya sadar fenomena ini bukan karena mata saya rabun. Saya yakin akan apa yang saya lihat. Orang yang bergaun merah itu adalah seorang wanita yang bertubuh semampai. Namun, sungguh tidak masuk diakal bila ada seorang perempuan di tengah hutan kecil di malam yang farut ini. Karena penasaran, saya tanpa sadar melangkah menuju arah hutan.

Di dalam hutan, saya melihat seorang perempuan bergaun merah. Ternyata baju merah nya adalah baju kasa. Di dalam baju merah, ia mengenakkan baju putih berbulu. Wajahnya sangat cantik. Rambut nya tidak panjang dan tidak pendek. Satu-satu nya hal wanita itu yang tidak sama dengan orang biasa adalah kakinya tidak menyentuh tanah. Jarak kaki nya dengan tanah ada sekitar satu kaki.

Wah. Hantu! Tidak salah lagi. Hanya makhluk halus yang bisa melayang-layang tanpa mengenai tanah. Bila orang awam yang melihat nya pasti sudah berteriak ketakutan, mungkin merangkak sambil berguling-guling dan terkencing-kencing, atau dengan wajah pucat pasi lari pontang-panting. Tapi, saya tetap tenang seperti biasa. Saya berkata kepada nya, "Mengejutkan orang saja."

Si wanita berbaju merah tidak bicara, hanya melambai-lambaikan tangan nya kepada saya. Tubuh nya melayang masuk ke dalam hutan. Saat tubuh nya melayang, paras nya sungguh indah. Si baju merah ini mendadak hilang sejenak dan kemudian mendadak muncul lagi sambil melambai-¬lambaikan tangannya. la melayang melewati sebatang sungai kecil, lalu berdiri di seberang sungai. Kali ini, saya tertegun. Sebenarnya sungai ini tidak lebar, namun tidak memungkinkan saya melangkah dengan satu pijakan saja. Saya perkirakan perlu melompat dua kali pijakan, barulah bisa melewati sungai itu. KarPna air sungai itu tidak dalam, sebenarnya saya bisa saja turun ke air sewaktu menyeberangi sungai. Namun, bila demikian, kaki saya akan basah, juga berarti saya, si ghostbuster (pakar penangkap hantu), telah dikalahkan oleh si hantu.

Bila saya bermeditasi, lalu mengeluarkan roh (kesadaran) saya, maka memang saya bisa seperti dia melayang-layang, bahkan saya bisa naik ke surga, masuk ke tanah, keluar masuk sepuluh alam dharma, bebas berwisata ke ribuan alam. Namun, sekarang tidak bisa begitu. Sekarang saya adalah Lu Sheng Yen yang sedang membawa tubuh fisik. Bagaimana bisa menyeberangi sungai?

Si baju merah menatap saya di seberang sungai dengan sudut bibir tersenyum, seakan-akan sedang melihat apakah saya bisa menyeberangi sungai. la bermaksud menguji kesaktian saya.

Keringat saya bercucuran. Saya buru-buru berpikir. Jika di pusat sungai kecil ini ada batu, maka baguslah. Saya bisa melompat ke atas batu, lalu melompat ke dataran di seberang. Tetapi, sekarang di tengah sungai tidak ada batu.

Tiba-tiba saya teringat pada "kakek batu". la adalah "Dewa Batu" yang berada di dekat rumah saya, dikenal memiliki kekuatan roh oleh masyarakat. "Kakek batu" sangat baik terhadap saya. Kami bersahabat. la pernah memberitahu saya, bila saya membutuhkan nya, ia pasti akan menampakkan diri untuk menolong saya. Maka, saya membaca mantra: “Dewa Batu, Dewa Batu. Lekas tampakkan suciwan. Lekas tampakkan roh. Berdasarkan janji mu, lekas bantu perjalanan saya. Ji Ji ru hun tien shi shen lu ling”.

Begitu "mantra hati Batu" ini saya selesai panjatkan, di tengah-tengah sungai tiba-tiba muncul sebongkah batu besar. Saya melambungkan badan, melompat ke atas bongkahan batu besar itu, lalu melompat sekali lagi sehingga tiba di daratan seberang. Sewaktu saya menolehkan kepala ke belakang, bongkahan batu besar itu telah lenyap. Saya berkata satu kalimat, "Terima kasih banyak."

Si baju merah rnenampakkan ekspresi wajah kagum! la melayang lagi ke arah depan. Saya mengikuti dari belakang. Tiba di sebatang pohon besar, perempuan itu mengelilingi pohon besar itu sebanyak tiga putaran, lalu balik arah mengelilingi lagi sebanyak 3 putaran. Dengan tangan nya ia menunjuk-nunjuk pohon besar itu.

Dalam sesaat, pemandangan di hadapan mata saya mengalami perubahan besar. Saya dan si baju merah ternyata sekarang berada di tengah-tengah kota besar. Ada lahan pertanian, rumah, dan toko. Rumah-rumah disitu mungil dan indah. Ada danau yang bening. Di atas permukaan danau, ada kapal-kapal yang berlayar seperti serat. Dari dalam kapal, terdengar lagu yang ringan, tarian yang lambat, bunyi suling, dan petikan dawai, seiring dengan gemuruh ombak yang terus berdebur tiada henti. Di atas daratan, ada sebuah gunung yang landai, ada bangsal untuk tempat peristirahatan, ada bunga dan rumput. Terlihat tiga sampai lima orang wisatawan dalam suasana persahabatan sedang berkelompok, tertawa riang tanpa batas. Juga terlihat beberapa orang yang sedang menggelar meja dan kursi, menikmati buah-buahan, arak, serta hidangan makanan, sambil bersorak-sorai. Mereka bermain tebak kepalan dengan penalti minum arak. Mereka sepertinya tidak melihat orang lain, tidak melihat kedatangan saya dan si baju merah. Suasana nya mirip suasana musim semi.

Saya keheranan. Di tengah hutan rimba, ternyata ada alam yang begini indah. Sungguh tidak terbayangkan. Dunia di luar sudah larut malam. Dunia ini justru sedang terang musim semi. Kehidupan di alam ini tak kalah dengan alam manusia.

Saya dibewa ke sebuah istana besar yang megah. Rupanya penguasa kota disitu mengundang saya untuk datang menghadiri jamuan. Penguasa kota sudah lama menunggu di dalam istana. Juga terlihat banyak tamu. Wajah semua tamu itu asing bagi saya. Tidak ada yang saya kenal. Hari ini mereka mengundang seorang tamu agung. Setelah semua tamu sudah berkumpul, baru jamuan dimulai. Penguasa kota sangat sopan dan hormat. la mempersilahkan saya untuk duduk di tempat duduk tamu agung. Setelah tiba disitu, saya baru tahu bahwa saya adalah tamu paling agung dari penguasa kota itu. Saya merasa sungkan, ragu apakah saya harus duduk di bangku kehormatan tertinggi.

Tak saya sangka, si penguasa kota dengan sikap yang sangat formal bersujud kepada saya. Para tamu lainnya juga berdiri semuanya dan bersujud kepada saya. Bahkan si perempuan baju merah itu juga bersujud kepada saya.

Saya berteriak keras, "Jangan, jangan. Harap jangan." Penguasa kota berkata, "Bapak adalah penolong yang saya tunggu-tunggu. Bagaimana tidak boleh bersujud?" "Penolong apa?" Saya merasa kebingungan.

Si perempuan berbaju merah berkata, "Papa. Kau jelaskan secara terperinci kepada tuan penolong." Saya baru tahu sekarang bahwa si wanita baju merah adalah putri si penguasa kota.

Saat itu, penguasa kota dan para tamu telah kembali duduk semuanya. Mereka menyajikan arak dan sayur. Arak nya bagaikan madu di tengah bunga. Aroma nya harum dan manis. Bukan arak alam manusia. Sama sekali berbeda dengan alam manusia. Sayur nya adalah intisari dari sayur, sangat lezat sekali, juga tidak sama dengan yang ada di alam manusia.

Saya bertanya, "Apa nama arak ini?"
"Madu di tengah bunga," jawab si penguasa kota. Saya tercengang. Rupanya tebakan saya benar. "Sayur ini?"

"Sayur ini khusus dimasak oleh koki paling terkenal di alam ini. Sengaja dipilihkan yang paling lezat, paling halus, paling pedas, khusus dipersembahkan kepada tuan penolong. Entah bagaimana aroma nya?"

"Benar-benar berkwalitas." Saya memuji tanpa henti.
Si penguasa kota berkata, "Nama arak ini adalah madu di tengah bunga. Sedangkan nama sayur ini adalah 'hati sayur hioko', 'irisan jahe naitou', 'bunyi lonceng shuibao', 'tiga serat bunga lili', 'sari wangi segala jenis bunga', ...." "Nama-nama yang bagus."
Kami berbasa-basi sejenak sehingga lebih akrab. Setelah itu, barutah si penguasa kota memasuki inti persoalan, "Tempat kami ini terbagi menjadi tiga kota. Saya adalah penguasa ke tiga kota itu. Yang berbaju merah itu adalah putri saya. Saya memang mengutus nya untuk mengundang bapak kesini. Ke tiga kota ini sudah lama ada disini. Segalanya aman dan tentram. Para warga tinggal dengan aman sentosa, bekerja dengan gembira. Tapi, kami sekarang seperti ada dalam mimpi buruk. Kami menerima informasi bahwa ke tiga kota kami akan dimusnahkan. l_ahan pertanian dan taman akan dibakar. Kami semua akan tergusur dan kehilangan tempat tinggal. Semua orang disini harus bubar. Dunia kami sepertinya akan kiamat."

"Bagaimana bisa?" Tanya saya dengan prihatin. "Laporan yang kami terima sangat akurat. Kami disini tentu tak rela hanya memejamkan mata, menunggu mati. Kami sudah bersiap-siap untuk mengungsi. Dari luar, para penduduk disini terlihat masih tetap gembira. Tapi sesungguhnya mereka menderita di tengah kegembiraan. Entah bagaimana nanti masa depan kami."

"Sebenarnya siapakah yang membuat kalian begitu ketakutan?"

"Bapak akan tahu, " kata si penguasa kota. "Saya akan tahu?"

"Benar. Begitu tiba waktu nya, tolonglah kami semua." "Saya masih belum mengerti."

"Kalau sudah waktu nya, bapak akan mengerti. Apakah bapak. bersedia menolong kami?"

Saya memandang sekeliling ruangan. Si penguasa kota dan para tamu semuanya menatap saya, lebih-lebih lagi si perempuan berbaju merah menatap saya dengan sorot mata pengharapan yang sangat tulus.

Saya berkata, "Saya adalah orang yang berlatih Tao. Mana ada alasan bagi saya untuk tidak berusaha menolong orang-orang yang dalam kesusahan."

Begitu kata-kata ini saya ucapkan, si penguasa kota dan para tamu menampakkan wajah bahagia. Si penguasa kota mempersilahkan putri nya untuk mempersembahkan tarian. Tarian nya membuat saya keheranan. Pinggang wanita itu sungguh kecil. Tangan nya direntangkan. Kaki nya diluruskan. Perubahan tarian seperti kacau namun bukan kacau, profesionaf namun alamiah, terhalang namun tembus nyata. Cita rasa irama nya sangat memuaskan.

Setelah perjamuan dan tarian itu berakhir, saya motion diri dan kembali.

Saya tidak menganggap serius apa yang baru saya alami itu. Mengapa? Hidup ini adalah mimpi belaka. Apalagi saya begitu seringnya melihat fenomena dunia roh. Kejadian di dalam mimpi bisa dikatakan nyata, bisa pula dikatakan palsu. Siapa tahu para warga kota yang saya jumpai itu sebetulnya hanya kupu-kupu belaka? Beberapa urusan sebaiknya tidak saya anggap serius. Setelah lewat kira-kira setengah tahun, saya sudah melupakan kejadian ini.

Pada suatu hari, ada seorang bernama Shen-Sheng mengundang saya untuk memeriksa hongshui. la memiliki sebidang tanah warisan leluhur, berniat membangun rumah di atas tanah itu. Ada orang mengatakan bahwa ia harus menebang beberapa batang potion. Jadi, ia mengundang saya kesana untuk melihat-lihat. Shen-Sheng adalah murid saya yang senior, telah lama berguru kepada saya. la yakin 100% terhadap ilmu hongshui yang saya miliki.

Saya tiba di sebuah hutan. Saya melihat ratusan potion cemara tua dengan ranting lebat bergelantungan. Saya juga melihat sebatang sungai jernih. Di atas puncak gunung yang landai, ada air terjun mengucur ke bawah dengan suara bergemuruh. Tiba-tiba saya merasa kenal dengan lingkungan ini.

Shen-Sheng dan saya berjalan ke sebatang potion cemara yang sangat tua dan besar. Tempat itu sungguh hening, penuh dengan kayu tua yang sangat hijau, seperti dinding hijau saja. Ada ratusan potion cemara hijau dan puluhan ribu batang potion bambu hijau.

Shen-Sheng berkata, "Di tempat ini, ada lokasi yang bagus, tetapi harus menebang ber batang-batang potion cemara tua. Bagaimana menurut Master?"

Saya mengeluarkan luopan (kompas hongshui), mengamati dengan teliti, kemudian menengadahkan kepala, menatap ke arah potion cemara yang sangat tua itu. Saya melihat di atas ranting kering datar raksasa, tergantung tiga buah benda besar yang bulat bergelembung. Agak gelap sehingga tak terlihat jelas.

Saya menunjuk dan bertanya, "Apa itu?" "Sarang lebah."

"Begitu besar?" Saya kaget.
"Memang langka. Sarang itu sudah ada sejak jaman ayah saya. Potion tua ini didiami oleh ribuan ekor lebah, terbagi menjadi tiga buah sarang. Sejak kecil saya sering bermain disini. Sarang-sarang lebah itu semakin lama semakin besar."

"Apakah lebah-lebah itu suka menyengat manusia?" "Belum pernah."

"Baguslah." Saya bicara sendiri.
Saya berkata kepada Shen-Sheng, "Saya lihat, di tanah mu ini, bukan hanya ada satu lokasi yang bagus, tapi ada dua malah. Di bawah potion cemara tua ini hanyalah salah satu nya. Satu nya lagi ada di tepi sungai. Di tanah di tepi sungai itu, dua prana saling mengalir. Itu barulah tanah stempel emas yang sesungguhnya."

"Apa itu tanah stempel emas?"
Saya berkata, "Menempati jabatan tertinggi sendirian. Stempel emas bagaikan bintang. Membicarakan perlahan-lahan tiga generasi. Martabat dan kekuasaan bertahan lama. "

Shen-Sheng merenung sebentar sebelum berkata, "Maha Guru tidak salah. Ayah pernah mengatakan, di jaman kakek, kami pernah mengundang seorang pakar hongshui Tang-Shan untuk melihat tempat ini. la mengutarakan pula adanya dua tempat yang merupakan lokasi bagus. Yang satu ada dibawah potion cemara. Yang kedua adalah semacam stempel emas, tepat seperti yang Maha Guru katakan."

Saya berkata, "Saya berpendapat bahwa tanah stempel emas jauh lebih bagus dibandingkan lokasi dibawah potion cemara tua ini. Pertama, tidak perlu menebang banyak potion cemara. Kedua, hawa yin nya lebih sedikit, hawa -yang- nya lebih banyak. Ketiga, bagaikan mempelajari lautan yang mengalir selamanya. Ratusan jenis seni dikuasai. Menjadi ketua diantara manusia."

Shen-Sheng menjawab, "Silahkan Maha Guru mengatur."

Saya dan Shen-Sheng berdialog dibawah pohon cemara tua itu tentang topik hongshui. Tiba-tiba ada seekor lebah datang, mengelilingi atas kepala saya sebanyak tiga putaran. Shen-Sheng berteriak keras, "Ada lebah!" la berteriak lagi, "Lebah ini berwarna merah, jarang terlihat. Hati-hati ada lebah."

Saya perhatikan dengan teliti, "Ternyata lebah bergaun merah."

Lebah bergaun merah ini seakan-akan menari di hadapan saya. la tidak menyengat saya, hanya dengan akrab menyanyi dan menari dengan ringan dan indah. Saya bernostalgia; menikmati wisata musim semi, jamuan makan, tari-tarian, dan segala hal menyenangkan lainnya.

Dalam hati saya berpikir, alam semesta sungguh menakjubkan.


Scanned by sun on fri, 29/Apr/2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar