Selasa, 16 Februari 2010

Langit Maha Tahu


Satu hal yang membedakan antara manusia dan hewan adalah, manusia memiliki tata susila.
Kalau manusia tidak punya tata susila, apa bedanya dengan hewan?
Ada orang meremehkan tata susila, bahkan lebih bejat dari hewan.

Seorang pria tampan sejati yang bertubuh tinggi gagah bernama Chui Jia datang menanyakan masa depan.
Saya memohon petunjuk pada dewa di langit.
Dewa menjawab, "Langit (1*) Maha Tahu."
Saya merasa geli mendengarkannya, sudah tentu Langit Maha Tahu!
Tapi, bagaimana dengan masa depan Chui Jia? Tidak ada jawaban.

Saya kembali memohon petunjuk. Dewa tetap menjawab, "Lang it Maha Tahu."
Ketiga kali saya ulangi bertanya. Dewa menjawab lagi, kali ini disertai sebuah catatan, "Langit Maha Tahu, orang ini karena “Langit Maha Tahu”, maka telah memperoleh berkah tambahan. Masa depannya sangat cemerlang."

Lalu saya balik bertanya pada Chui Jia, "Mengapa dewa hanya berkata Langit Maha Tahu?"
Chui Jia tercenang sejenak, lantas tampak tersipu-sipu. la merasa malu saat menceritakan padaku kejadian berikut ini.

Ketika Chui Jia masih kuliah, ia kos di rumah penduduk dekat perguruan tinggi.
Ibu kos adalah seorang nyonya muda berparas ayu yang lemah gemulai, suka bersolek dan berpakaian modis. Dari sepasang matanya yang memikat sering mengisyaratkan kesan genit.
Chui Jia agak terpesona.

Suatu hari si Tuan rumah sedang dinas luar.
Chui Jia kebetulan melangkah melewati pintu kamar tidur Tuan rumah.
Pintu tidak tertutup.
Nyonya muda berada di dalam kamar.
Sorotan matanya memancarkan hasrat cinta.
la berdiri menatapi Chui Jia, tubuhnya meliuk-liuk menggoda Chui Jia.
Chui Jia berdiri tanpa bergerak. Empat mata saling bertemu.
Chui Jia sungguh tak kuasa menghalau godaan nafsu.

Nyonya muda membuka mulut, "Tidak ada yang tahu."
Chui Jia sangat terusik, maju selangkah, lalu berhenti.
Nyonya muda berkata, "Sekedar iseng, orang tidak tahu."
Chui Jia yang berjiwa muda, nafsu rendah mulai membakar jiwa raganya.

Tiba-tiba Chui Jia berubah pikiran.
la teringat di sekolah pernah membaca empat kata yang artinya Empat Tahu: Langit tahu, Bumi tahu, Kamu tahu, Saya tahu. Meskipun orang lain tidak tahu, Langit Maha Tahu!”

Chui Jia berkata pada si Nyonya muda, "Orang tidak tahu, Langit Maha Tahu."
Nyonya muda bertanya, "Bagaimana Langit akan tahu?"
Chui Jia sambil menjawab sambil melangkah lebar meninggalkan si Nyonya muda, "Langit Maha Tahu, Langit Maha Tahu, Langit Maha Tahu!"

Malam itu si Nyonya muda datang lagi mengetuk pintu kamar Chui Jia.
Wangi tubuh seorang wanita muda menyelinap melalui sela-sela daun pintu, mengusik jiwa raga Chui Jia. Beberapa kali hampir saja ia bangkit membukakan pintu kamar.
Begitu pintu dibuka, wanita muda itu akan langsung jatuh di pelukannya, betapa tidak?

Tetapi Chui Jia masih bergumam, "Langit Maha Tahu, Langit Maha Tahu, Langit Maha Tahu!"
Orang tidak tahu, Langit Maha Tahu.
Orang lain boleh dikelabui, Langit tak boleh dikelabui.
Akhirnya, pintu tetap tidak dibukakan.

Keesokan dini hari, Chui Jia buru-buru pindah ke tempat ternan kuliahnya.
Kejadian ini ia tidak berani cerita pada siapa pun, termasuk sahabat karibnya.
la pindah kos hanya dengan alasan tempatnya tidak cocok.

Kini sungguh menjadi "Orang tidak tahu dan Langit Maha Tahu".

::
Chui Jia bercerita lagi padaku sebuah kejadian aneh.
Semasa kuliahnya, tempat tinggal Chui Jia berpindahan lima kali.

Di tempat kos yang lain, setelah kejadian dengan si Nyonya muda berselang beberapa waktu, suatu malam saat ia tertidur dengan pulas, dalam mimpi ia terdengar ada yang bersuara, "Langit Maha Tahu, cepat bangun, Langit Maha Tahu, cepat bangun, Langit Maha Tahu, cepat bangun."
Suara itu terdengar sangat jelas, Chui Jia terkesiap di tempat tidur.

la bergegas melongok ke jendela, rupanya rumah tetangga sudah kebakaran, asap tebal mulai mengepul. la segera membangunkan ternan-ternan kos dan segera menelpon Dinas Pemadam Kebakaran, lalu melarikan diri ke jalanan.

Ketika Chui Jia berlari keluar, kobaran api sudah mulai menjilat kamar tidurnya.
Tempat kosnya dalam sekejap telah menjadi lautan api.
Kasus kebakaran kali itu menelan beberapa korban jiwa dan melukai beberapa warga.
Sebanyak enam rumah bertingkat hangus dilahap si jago merah, kerugian materi tidak sedikit.

Chui Jia teringat kembali kondisi saat itu, andai kata tidak ada seruan "Langit Maha Tahu,. cepat bangun" yang membangunkannya dari ketiduran, ia masih saja tertidur pulas, mungkin ia bersama-sama ternan kosnya sudah jadi arang di tengah lautan api.
Sungguh mengerikan bila diingat-ingat kembali.

Awalnya Chui Jia adalah orang yang tidak percaya pada dewa, juga tidak beragama.
Setelah kejadian ini, ia merasakan sungguh adanya dewa di balik alam ini.
Kalau bukan dewa yang memberitahu "Langit Maha Tahu, cepat bangun", siapa lagi?

Saya berkata pada Chui Jia, "Memang ada makhluk suci dan makhluk halus di alam ini. Maka dikatakan segala perbuatan gelap yang menyimpang dari hati nurani, takkan luput dari sorotan mata dewa yang tajam bagaikan kilat."

"Sungguh Langit Maha Tahu." tutur Chui Jia.
Saya berkata, "Di zaman sekarang, Anda tidak terjatuh di pelukan wan ita jalang, sungguh beriman."
Chui Jia tersipu, "Kebetulan saja!"

"Antara kebajikan dan kejahatan hanya terpaut niat sepintas, begitu tersandung satu langkah, seumur hidup jadi penderitaan, mau tobat, umur sudah senja."

Saya memberitahu Chui Jia, "Hubungan pria-wanita jaman sekarang semakin hari semakin intim dan bertumpang tindih, sudah tak ada lagi orang yang menghiraukan norma dan kaidah.
Satu hal yang membedakan antara manusia dan hewan adalah, manusia memiliki tata susila.
Kalau manusia tidak punya tata susila, apa bedanya dengan hewan?
Ada orang meremehkan tata susila, bahkan lebih bejat dari hewan.
Memang, manusia juga terlahir karena nafsu birahi, sehingga nafsu rendah ini menjadi insting man usia. Atas dorongan kebiasaan itulah, maka untuk tidak melampiaskan nafsu birahinya, sungguh sangat sulit!"

"Bagaimana bermawas diri?" tanya Chui Jia.
"Sutra Empat Puluh Dua Bab mengatakan, yang tua bagaikan ibu, yang dewasa bagaikan kakak perempuan, yang remaja bagaikan adik perempuan, yang kecil bagaikan putri sendiri. Dengan pikiran demikian, kita akan meredam nafsu birahi."

"Kalau tak dapat berpikir demikian, sebaiknya bagaimana?"
"Belajarlah asubhasmrti(2*),
yang namanya wanita cantik, hanyalah sehelai kulit.
Bila kulit ini disingkap, hanyalah setumpuk kerangka.
Lalu dengan menganatomi tubuh, hanya terlihat organ - organ dalam yang berlumuran darah kental, penuh dengan urin dan tinja, amis dan bau, bahkan mengerikan dan memuakkan."

"Kalau tak dapat bervisualisasi demikian, lalu bagaimana?"
Saya menjawab, "Tatkala nafsu rendah bergelora di luar kendali, renungilah akibat yang bakal terjadi. Kalau mengikuti kehendak nafsu, mungkin saja harta benda akan runyam, nama baik akan tercoreng, bukan saja mempermalukan nama leluhur dan keluarga, juga akan merusak masa depan putra-putri, karir dan masa depan seumur hidup pun akan hancur.
Begitu merenungi akibat fatal yang harus ditanggung, tentu akan timbul rasa was-was dan takut, dengan sendirinya hawa yang berkecamuk segera berubah menjadi dingin."

"Kalau masih tak dapat mengendalikan diri, bagaimana?"
Saya katakan, "Kenikmatan hanya sejenak, malapetaka akan berkelanjutan!"

Chui Jia berkomentar, "Manusia kebanyakan menggandrungi kenikmatan yang sejenak ini, bahkan ada yang mati pun tak menyesal!"
"Buddha bersabda, nikmat itu kosong, rupa itu kosong."
"Umumnya orang tak merelakan!"

Saya berkata, "Anugerah dan petaka tidak berpintu, manusialah yang mencarinya."

Sesungguhnya tema dialog antara kami berdua ini juga merupakan masalah besar masyarakat jaman sekarang. Urusan semacam ini tergantung tingkat nurani dan kekuatan samadhi dari bhavana masing-masing orang.
Saya tegaskan, di alam ini tentu ada dewa, jangan kira orang tidak tahu, sebenarnya yang di atas tak dapat dikelabuhi, Langit Maha Tahu.
Untuk itu perkenankanlah saya berdoa, semoga setiap manusia menyucikan diri sendiri, setiap orang tahu beribadah, senantiasa meninggalkan samsara.

Catatan:

* Langit (1*) - dewa
*asubhasmrti(2*) – melihat segala sesuatu kotor adanya
sumber tulisan:
Buku ke-145, “Batin Teduh Seketika”, kisah ke-03, judul: Langit Maha Tahu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar