Kamis, 18 Februari 2010

Karma dan Nasib

*Ceramah Dharma Acarya Samantha Chou pada tanggal 8 April 1997

Para bhiksu dan sadhaka sedharma, selamat malam. Om Mani Padme Hum.
Selama beberapa hari ini, saya sedang berusaha menjawab sebuah surat yang ditulis seseorang yang baru menemukan SatyaBuddhagama dan ingin memperoleh jawaban dari masalah masalah pribadi yang dihadapinya. Surat itu tidaklah mudah dijawab karena berupa kisah peristiwa peristiwa tragis yang terjadi dalam hidup nya. Ia berkata bahwa ia berasal dari sebuah keluarga besar yang beranggota 10 anak. Ayah nya meninggal karena kanker. Salah satu kakak pria nya mati muda. Seorang lagi meninggal dalam kecelakaan lalulintas. Kakak perempuan nya yang pertama dan yang ke empat mengalami perceraian. Kakak perempuan nya yang nomor dua selalu berkonflik dengan suami nya. Usaha dagang kakak perempuan nya yang nomor tiga jatuh bangkrut. Pokoknya, tak ada saudara saudari nya yang dalam keadaan bahagia.

Ibunya adalah seorang penjudi dan tidak memperdulikan hal keluarga. Karena menghadiri beberapa upacara Buddhis dan berdialog dengan beberapa bhiksu, ia mulai mengenal Buddhisme. Karena konsep tentang nasib dan takdir sangat membudaya pada kebudayaan (tradisi) orang Cina, ia bertanya kepada seorang bhiksu, "Apakah saya mengalami kehidupan seperti ini karena nasib buruk?" Si bhiksu berkata kepada nya, "Tak ada itu yang namanya nasib!" Itu sebabnya ia memutuskan untuk bertanya kepada saya lewat surat, "Apakah ada nasib? Apakah ada takdir? Apakah takdir bisa diubah?"

Setelah membaca tentang sejarah keluarga nya, ia memang patut menerima simpati. Tak ada saudara saudari nya yang mendapatkan kebahagiaan hidup. Ia bahkan menceritakan bahwa ia sering bermimpi dimana ia melihat almarhum ayah dan almarhum kakak kakak nya memakai baju compang-camping dan sangat miskin. Dalam acara Ceng-Beng tahunan (acara sembahyang leluhur yang diadakan setiap tahun), keluarga nya hanya memperhatikan kuburan sang ayah dan mengabaikan kuburan kakak nya yang mati muda. Mereka lakukan ini karena seorang ahli feng-shui mengatakan, "Orang yang mati sebelum mencapai usia dewasa akan mendatangkan kesialan kepada keluarga nya bila ia diganggu. Orang seperti itu cukup dikubur saja, tidak perlu kuburan nya dirawat, tidak perlu mengangkat kembali tulang-belulangnya untuk dipindahkan ke lokasi lain, kalau tidak, kalian bisa sial."

Sewaktu mengunjungi kuburan kuburan keluarganya itu, ia merasa kasihan melihat kuburan saudara nya yang penuh dengan rumput lalang liar, tetapi ia tidak diijinkan oleh ibu nya untuk membersihkan rumput liar itu ataupun memasang dupa hio. Ia menulis kepada saya, "Kami sama sekali tidak merawat kuburan nya. Sudah ada begitu banyak masalah dalam keluarga kami. Apakah dengan merawatnya akan membuat masalah kami lebih banyak lagi?" Dalam surat nya, ia telah menuliskan sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan anggota keluarga nya: Mengapa cerai? Mengapa usaha dagang menjadi bangkrut? Mengapa terjadi kecelakaan lalulintas? Mengapa timbul konflik dan perkelahian dalam keluarga nya? Mengapa? Memikirkan pertanyaan pertanyaan ini saja sudah membuat saya mengalami sakit kepala. Saya mungkin harus meniru Maha Acarya yang bila diberikan terlalu banyak pertanyaan maka akan memilih satu saja untuk dijawab. Saya biasanya berusaha menjawab semuanya bila 10 pertanyaan sekalipun ditanyakan. Ini tentunya sangat memboroskan waktu.

Mengapa sebagian bhiksu Buddhis menyatakan bahwa Buddhisme tidak percaya pada nasib dan takdir? Ini karena Sakyamuni Buddha ingin mengajar para insan bahwa nasib dapat diatasi. Bila kita memberitahu masyarakat bahwa nasib itu ada dan bahwa segala sesuatu telah diatur oleh takdir, maka orang akan menjadi patah semangat dan pesimis. Mengapa perlu perduli lagi bila segala sesuatu telah ditakdirkan? Orang akan hidup secara pesimis dan kehilangan semangat untuk mengatasi situasi yang sulit.
Sesungguhnya, nasib itu memang ada. Nasib sesungguhnya adalah karma.

Jadi, bagaimana mungkin tidak ada nasib? Takdir, yang merupakan kelanjutan dari nasib, juga memang ada. Misalnya, penyu yang salah satu dari kalian bawa pada malam hari ini dan yang baru saja mengeluarkan banyak suara. Ada nasib berkaitan dengan dirinya itu. Anda seharusnya menaruhnya di sebuah nampan daripada menyimpannya di dalam sebuah kantong kertas. Meskipun saya tak dapat melihatnya, ia terus membuat berbagai suara supaya ia diperhatikan. Adalah nasib nya bahwa ia dilahirkan sebagai seekor binatang. Mengapa bisa demikian? Tadi, sewaktu saya memasuki Samadhi di tengah-tengah upacara penyeberangan bardo, saya menyelidiki mengapa penyu itu terlahir sebagai penyu. Dalam kehidupan masa lampau nya sebagai seorang manusia, ia dan keluarga ayah nya mencari nafkah dengan membuat dan menjual kue. Mereka adalah pekerja keras. Tapi suatu kali sewaktu mereka mengetahui bahwa ada seorang tukang kue lain membeli banyak sekali terigu, ia dan ayah nya bertekad mencurinya. Dengan mudah saja mereka berhasil mencuri gandum yang tersimpan dan memindahkan nya ke gudang mereka sendiri. Si tukang kue yang sial itu telah menghabiskan hampir semua uang tabungan nya untuk membeli gandum sehingga harus jatuh bangkrut karena kasus pencurian itu. Di jaman itu, tak ada yang namanya asuransi. Jadi, ia jatuh bangkrut dan mengalami penderitaan. Setelah terbentur jalan buntu disana sini, ia akhirnya ia membunuh diri dengan cara menggantung diri. Sebaliknya, keluarga yang telah mencuri gandum telah mendapatkan bahan baku tanpa modal, disamping juga telah berhasil menyingkirkan seorang calon saingan. Jadi, mereka berhasil mengembangkan usaha mereka dan menjadi kaya raya. Karena pencurian yang terjadi di masa lalu itu, putra si tukang kue ini terlahir dalam kehidupan sekarang sebagai seekor penyu yang harus menyeret kepala, tangan, dan kaki nya. Setelah melakukan pencurian, si putra tukang kue tahu di dalam hati bahwa ia telah mengakibatkan banyak penderitaan pada korban nya. Tapi sudah terlanjur. Bagaimana mungkin ia mengakui kejahatan nya? Mustahil. Jadi, karena kesalahan nya itu, ia terlahir sebagai seekor binatang berlusin-lusin kali dan bahkan sewaktu terlahir kembali sebagai manusia, usia nya akan pendek saja. Sewaktu penyu ini membuat berbagai suara yang berisik, saya bertanya kepada Bodhisattva, "Apa pula penyebab sehingga penyu ini dapat hadir di sebuah vihara Buddhis dalam kehidupan kali ini nya dan berpartisipasi dalam sebuah acara puja bakti bersama serta menerima berkat dari upacara penyeberangan bardo? Apakah ia pernah menjadi seorang sadhaka sebelumnya?" Sang Bodhisattva menjawab, "Bukan, ia belum pernah menjalankan pelatihan diri. Tapi, dalam kehidupan masa lalu nya itu, ia pernah mengunjungi sebuah vihara dimana seseorang memberikannya lilin." Di masa lalu, orang menyalakan lilin di vihara setelah membuat sumpah atau permohonan. Ia sebetulnya hanya datang ke vihara sebagai turis belaka, tetapi sewaktu ada orang yang memberinya lilin, ia menerima nya dan membayar sejumlah uang. Karena ia sudah terlanjur memegang sebuah lilin, maka dinyalakannya dan ditempatkannya di hadapan para Buddha dan Bodhisattva. Karena satu tindakan itu saja, maka hari ini ia telah tiba disini bersama kita.

Kita mungkin tidak menyadari selama ini bahwa menyalakan pelita merupakan sebuah tindakan yang sangat berpahala besar. Memberi persembahan pelita kepada sang Buddha menandakan bahwa seseorang memohon sinar, sinar Buddha, untuk menyinari nya, untuk melenyapkan kebodohan dan kegelapan batin nya. Sewaktu orang mempunyai keinginan demikian dalam hati nya dan menyalakan sebuah lilin atau pelita dihadapan sang Buddha, maka para Buddha dan Bodhisattva memberikan sinar mereka kepada nya. Dalam kehidupan kali ini, si penyu harus terlahir di alam binatang untuk membayar hutang karma nya. Itulah nasib. Apa yang diciptakan dalam kehidupan masa lalu akan menghasilkan akibat dalam kehidupan yang akan datang.

Sakyamuni Buddha mengajarkan kita untuk mengatasi nasib. Nasib memang ada, tapi bukan berarti tidak ada jalan keluar. Ada cara cara untuk mengatasi nya. Bersadhana lah dan lakukanlah sadhana dengan rutin dan tekun. Sewaktu anda telah berlatih sampai mencapai kekosongan, anda akan terbebaskan dari ikatan karma, kekuatan Im-Yang, dan kekuatan 5 unsur. Anda tidak lagi dibawah hukum langit dan bumi, dewa dan hantu. Sewaktu anda tidak lagi terikat pada hukum hukum ini, anda tidak lagi terikat pada nasib.

Itu sebabnya sebagian Buddhis menolak keberadaan nasib dan takdir. Ini merupakan alasan utama mengapa sebagian bhiksu Buddhis tegas tegas menolaknya. Mereka ingin menasihati kita untuk berfokus pada upaya pelatihan diri. Kalau tidak, bila kita mengalami sedikit kesulitan, kita langsung kehilangan keseimbangan dan berkeluh kesah. Sungguh sulit bagi orang seperti itu untuk dapat mencapai kekosongan.

Sakyamuni Buddha mengajarkan kita bahwa Dharma Buddha dapat menolong kita untuk dapat mengatasi segala macam kemelekatan karma.

Hui-Ke, patriak ke dua aliran Zen sesudah Bodhidharma, adalah contoh seseorang yang dapat mengatasi karma. Ia telah melatih diri ke tingkat yang sangat tinggi, tetapi bagaimana akhir hayat nya? Kepala nya dipenggal. Ia mati dihukum. Betapa kematian yang tragis bagi seorang guru silsilah! Apakah ia telah gagal dalam bhavana nya? Apakah ia tidak mempunyai kemampuan untuk menangkal akibat karma? Apakah ia tidak mempunyai kesaktian? Tentu saja ia punya.

Bagaimana dengan Maudgalyayana, satu dari 10 siswa utama Sakyamuni. Ia dikenal sangat sakti. Ia dapat pergi ke tanah suci para Buddha untuk mendengar dharmadesana. Ia dapat pergi ke alam neraka untuk menolong ibu nya. Ia dapat melanglang buana dengan bebas di 10 alam dharma. Tapi bagaimana akhir hayat nya? Ia mati tertimpa batu batu. Betapa kematian yang mengerikan!

Sariputra dikenal akan kebijaksanaan nya yang besar. Bagaimana akhir hayat nya? Ia mati dengan usus cerai berai. Semua individu itu telah mencapai keberhasilan dalam pelatihan diri, tetapi kematian mereka sungguh tragis. Kita mungkin berkata, "Pelatihan diri yang mereka lakukan sepertinya tidak menolong mereka karena mereka tidak dapat lolos dari takdir. Wah, saya tidak mau menjadi seperti mereka. Saya ingin mati dalam posisi duduk bersila yang tenang dengan banyak sarira ditemukan dalam kremasi..."

Saya telah menjelaskan sebelumnya bahwa meskipun mereka memiliki kemampuan untuk lolos dari akibat karma itu, mereka memilih untuk menunjukkan kepada kita semua bahwa bila sebuah pelanggaran berat telah dilakukan seperti misalnya membunuh, maka pada akhirnya mereka harus menghadapi konsekwensi nya. Maudgalyayana telah membuktikan berulang kali bahwa ia sanggup lolos dari ancaman kematian sewaktu ia mengubah arah perjalanan karena mengetahui bahwa musuhnya telah bersembunyi dan menunggu untuk menghujani nya dengan batu. Tapi, mengapa ia tidak berhasil lolos pada akhirnya? Karena ia telah mencapai kemerdekaan dan pembebasan diri. Pada waktu mengalami hukuman, ia dapat memunculkan kebijaksanaan kekosongan. Hati nya penuh dengan kebahagiaan sewaktu menerima pembalasan tanpa menyalahkan siapapun.

Sewaktu saya melahirkan Engih, saya mengalami perdarahan yang parah. Para dokter tidak dapat mendeteksi dimana sumber perdarahan itu berasal. Mereka berulang kali memberikan saya transfusi darah, tapi saya terus kehilangan darah.
Merupakan pembalasan karma bahwa saya harus kehilangan seluruh darah di dalam tubuh saya. Saya harus merasakan bagaimana perut saya dibuka dan berbagai organ tubuh saya diangkat keluar. Saya kan penjelmaan dari Padmakumara Ungu dan telah menjalankan sadhana. Jadi, mengapa saya harus mengalami hukuman seperti ini? Itulah nasib. Saya harus bertanggung jawab atas karma saya sendiri.

Jadi, ada situasi situasi dimana seseorang yang telah mencapai kekosongan tetap rela menerima pembalasan karma. Di satu pihak, ia memilih untuk menggunakan situasi itu untuk mengajarkan kita menghadapi karma kita daripada berlari darinya. Di lain pihak, ia menunjukkan bahwa setelah mempunyai penguasaan akan hal tumimbal lahir, ia dapat meninggalkan dunia manusia ini dengan cara apapun yang ia suka. Ia bebas untuk mengalami ataupun tidak mengalami pembalasan karma. Orang tersebut tentunya adalah orang yang telah mencapai kekosongan.

Sewaktu seseorang memiliki kebijaksanaan kekosongan, ia dapat berada dalam keadaan maha sukha. Tak perduli betapa mengerikan situasi yang dihadapinya, orang seperti itu bisa menghadapinya dengan hati yang gembira. Saya ingin memberitahu kalian semua pada hari ini bahwa seorang sadhaka yang benar benar telah berhasil dapat mengatasi situasi apapun dan tidak lagi terikat pada hukum langit dan bumi, dewa dan hantu, im-yang, 5 unsur, dan karma. Orang seperti itu dapat melepaskan semua hukum itu menjadi kekosongan dan pada saat yang sama tetap berada dalam keadaan yang bahagia. Jadi, nasib dan takdir memang ada. Tapi, dengan mengikuti ajaran Sakyamuni Buddha, kita dapat mengatasinya. Ada cara untuk mengatasinya. Ini berkaitan dengan terbukanya hati dan pikiran. Apapun yang anda hadapi, anda sangat menyadarinya dan menerima nya dengan hati yang gembira.

Sewaktu saya dioperasi, sewaktu para dokter memindahkan banyak organ dari tubuh saya, usus saya membengkak dan saluran air kencing saya penuh dengan darah. Karena saya tidak mampu kencing sendiri, dokter harus memasang saluran khusus untuk saya. Saya tidak menyadari hal ini karena saluran khusus itu dipasang pada saat operasi. Pokoknya, selesai operasi, saya bangun dan dapat hidup lagi. 8 minggu kemudian, dokter memberitahu saya bahwa ia harus mengeluarkan lagi saluran khusus itu. Saya berkata dalam hati, "Operasi lagi!" Tubuh saya masih lemah dan menderita dari operasi yang pertama. Saya bertanya kepada si dokter, "Saluran apa yang anda bicarakan?"

Ia berkata, "Saluran plastik".

"Berapa panjang?"

"Sepanjang ini," jawab dokter sambil mengangkat sebuah selang plastik untuk ditunjukkan kepada saya.
Besar selang itu hampir sebesar jari manusia. Ada selang yang demikian panjang dan tebal di tubuh saya.

"Operasi lagi. Apakah ini berarti tubuh saya dipotong lagi? Berapa panjang kali ini?" Sudah ada goresan panjang dari perut bagian atas sampai perut bagian bawah di tubuh saya.


Ia berkata, "Tidak perlu operasi."


"Tanpa operasi? Bagaimana dikeluarkannya?"


"Kami akan mengeluarkannya dari alat kemaluan mu."


Begitu saya mendengar hal ini, saya hampir pingsan. Saya berpikir, "Bukankah itu akan sakit sekali? Ini kan tubuh dari daging. Selang panjang dan tebal di dalam tubuh saya itu harus dikeluarkan dari lokasi dimana saya biasa kencing?"


Si dokter berkata lagi, "Ini akan dilakukan tanpa pembiusan. Anda akan sadar sewaktu ini dilakukan. Tak ada pembelahan dengan pisau."


Hanya memikirkan hal ini saja sudah menguras semua tenaga saya. Takut rasa sakit! Ini merupakan reaksi yang sangat alamiah karena saya telah merasa sakit setiap hari dan tahu rasanya sakit. Kemudian si dokter menyuruh saya untuk ke meja operasi dan mulai bersiap siap. Ia mengeluarkan semacam kapas alkohol untuk mensterilkan daerah yang akan dikerjakan. Ia kemudian mengeluarkan semacam vajra dari logam stainless untuk membuat lubang vagina tetap terbuka selagi selang tersebut dicabut. Ini semua dilakukan tanpa pembiusan.

Saya berbaring di meja dan sebelum prosedur ini dimulai, air mata berkucuran di mata saya. Saya menangis dengan sedihnya. Perawat berkata, "Ini akan berlangsung cepat. Anda akan baik baik saja. Sakit nya hanya sebentar. Jangan takut. Dokter sudah melakukan hal ini seringkali. Ini akan cepat saja. Tidak akan sakit lama." Saya bertanya, "Berapa lama sakitnya?" Ia menjawab, "Beberapa menit". Bila seseorang dalam keadaan sakit, beberapa detik atau bahkan satu detik pun sudah merupakan hal yang lama, apalagi beberapa menit. Saya mulai menangis dengan kerasnya. Suami saya, upasaka Chou, berdiri di samping saya dan berusaha menghibur saya, "Suster sudah katakan sakitnya hanya sebentar. Ini lebih baik daripada dioperasi sekali lagi."

Saya berkata, "Coba kau lihat alat stainless itu dan bagaimana ia berputar. Itu kan besar sekali!" Saya bukan menangis karena takut meskipun mereka terus memberitahu saya, "Jangan takut!".
Saya berkata, "Saya tidak takut. Saya bukan menangis karena takut. Saya menangis karena menyesal dan bertobat." Mendadak saya merasa demikian menyesal sehingga saya menangis. Saya berpikir di dalam hati, "Kesalahan apa yang telah saya buat dalam inkarnasi masa lalu saya sehingga sekarang saya menerima siksaan dan penderitaan seperti ini?" Saya berteriak kepada Avalokitesvara Bodhisattva, "Apapun yang telah saya lakukan di kehidupan lalu saya, saya tidak berani melakukannya lagi. Tolonglah saya supaya saya dapat menjalankan hidup saya pada kali ini dengan penuh kesadaran akan segala perbuatan saya. Tolonglah saya sehingga saya tidak begitu bodoh dengan terus membuat karma buruk. Saya tidak akan, saya tidak berani lagi membuat karma buruk yang membuat tubuh saya menderita hukuman seperti ini lagi. Bila hal ini telah selesai, saya akan hidup secara murni dan bajik."

Pada saat itu, saya menangis meraung-raung. Orang orang lain di ruang operasi bingung mengapa saya menangis seperti itu. Tapi, pada saat itu, saya begitu tergugah oleh kesadaran bahwa penderitaan yang diciptakan oleh karma sendiri bisa begitu besarnya sehingga tak ada orang lain yang bisa membayangkannya. Sewaktu saya memikirkan hal ini, saya berkata kepada sang Bodhisattva, "Saya dengan rela menerima hukuman yang memang pantas saya terima. Saya akan menerima nya untuk membayar hutang karma saya."

Maka, pada saat itu, setelah dengan rela menghadapi dan menerima pembalasan karma ini, hati saya terbuka. Dengan hati yang terbuka, saya menyebut nama Buddha dan memvisualisasikan para Buddha dan Bodhisattva memberkati saya. Dalam sekejab, saya sudah lupa akan rasa sakit. Saya bahkan mengamati bagaimana alat itu dimasukkan ke tubuh saya dan bagaimana selang plastik di tubuh saya dicari dan ditarik keluar. Panjangnya segini, hampir sepanjang meja. Saya masih menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana ia bisa masuk ke tubuh saya, tapi nyatanya ia ada di dalam tubuh saya selama itu untuk membantu saya mengeringkan air kencing.

Sungguh saya merasa tidak sakit. Saya pasrah sepenuhnya pada saat itu dan berbahagia menghadapi dibayarnya hutang karma saya. Bila saya tidak mengalami krisis ini, bagaimana saya bisa dapat melunasi kesalahan masa lalu saya? Pada saat itu, saya dapat mengatasi rintangan kejiwaan saya dan merasa berbahagia. Ini sungguh sebuah pengalaman bhavana. Sejak saat itu, selama 8 tahun ini, setiap kali saya menghadapi suatu situasi yang negatif, saya menghadapinya sebagai kesempatan bagi saya untuk melunasi hutang karma saya. Bagaimana lagi kita bisa melunasi hutang kita? Kita mungkin tidak tahu secara terperinci hutang apa yang kita miliki, tapi kita bisa melihat penderitaan yang kita alami sebagai cara untuk melunasi nya. Sewaktu kita berpikir seperti ini, pandangan hidup kita berubah dan segala krisis akan mudah kita hadapi.

Itu sebabnya Sakyamuni Buddha mengajarkan bahwa hanya dengan membuka simpul simpul ikatan di hati kita dan dengan membebaskan pikiran kita pada kekosongan, barulah kita dapat mengatasi penderitaan kita. Sewaktu hukum im-yang dan 5 unsur tidak lagi mengikat kita, kita bebas untuk pergi ke timur, barat, utara, atau selatan, atas atau bawah. Kata kata dari ahli hong-shui tidak lagi mengikat kita, begitu pula kata kata kritikan orang lain. Hal hal hongshui di rumah kita yang dianggap tidak baik seperti misalnya penempatan kompor, adanya terlalu banyak sudut tajam, tidak adanya "gudang harta", ranjang yang menghadap pintu, tidak lagi dapat mempengaruhi kita secara negatif. Sebelumnya, kita terikat pada hukum hukum itu dan pengaruhnya. Sekarang kita telah mengatasi rintangan rintangan ini dan sepenuhnya bebas darinya. Unsur unsur yang tidak harmonis antara air dan api di sebuah rumah tidak lagi berkaitan dengan diri kita. Adanya sisi tembok yang langsung menghadap pintu Utama tidak lagi berkaitan dengan kita. Adanya lubang di titik gudang harta tidak lagi berkaitan dengan kita. Posisi ranjang yang pas di depan pintu tidak lagi berkaitan dengan kita. Ini bisa terjadi karena kita telah mengatasi hukum hukum nasib dan takdir dan telah sepenuhnya bebas.

Semua hal ini sungguh ingin saya sampaikan kepada orang yang telah menulis surat kepada saya itu. Tapi bagaimana? Waktu sangat terbatas. Jadi saya hanya dapat melimpahkan jasa kepada nya dalam sadhana saya dan menganjurkannya mengerjakan perbuatan berpahala. Lewat pengerjaan PR seperti membaca mantra, membaca sutra, dan beramal, dan lewat perenungan dan introspeksi, ia bisa mendapatkan pandangan dan pemahaman baru tentang bagaimana mengatasi kesulitan nya. Sewaktu orang tidak lagi terkontrol oleh berbagai jenis nasib, ia adalah orang yang telah mencapai kekosongan.

Semoga kalian semua berhasil dalam mencapai nya. Om Mani Padme Hum.

*Sumber: HUM5, artikel ke-13. Karma dan Nasib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar